A/S/L
KOTAK mungil chattroom di
pojok monitor itu berkedip. Sebuah blink yang menandakan ada seseorang
jauh di sana ,
entah dimana, sedang menyapa. Hi...(baca Hai) katanya. Hi too, aku menjawab, memberinya kehangatan
yang setimpal. A/S/L plz1, dia menyahut lagi, mengirim
pertanyaan awal untukku, bersemangat. Wahai engkau yang di seberang, tak
sadarkah kau bahwa bagiku itu adalah pertanyaan tersulit.
Identifikasi diri dalam angka
aksara, rangkaian simbol dan penandaan yang aneh untuk sekedar menandai usia,
jenis kelamin, dan lokasi. Untuk S dan L, aku pasti akan menjawabnya dengan M/Jkt,
sebab aku laki-laki (Male) dan saat ini ada di Jakarta . Namun untuk A, dengan angka berapa
aku harus menjelaskan?
Sebab usiaku tak jelas betul. Siapa ayah ibuku tak
pernah betul-betul jelas. Mungkin A/S/L itu memang sekedar pertanyaan
standar dalam interaksi dua arah di dunia maya yang bagi orang lain kelihatan
normal. Namun sungguh, dia begitu menohok bagiku. A/S/L. A/S/L Keparat
itu, dia selalu menjebakku dalam perih.
Membaca blink di layar itu
aku jadi teringat masa lalu. Lubang cacing yang berliku di labirin otakku
berdenyut, terasa lembab dan kelam di kepala. Aku ingat, saat aku mulai bisa
mengingat, yang pertama kuingat adalah ingatanku tentang lorong-lorong, yang
selalu kuingat sebagai bangunan tua menyerupai bangsal. Disanalah aku tumbuh
sebagai bayi, balita hingga remaja. Kemudian aku tahu orang-orang menyebut
lorong itu panti asuhan, sebab di sana
diasuh anak-anak, juga balita, seperti aku. Anak-anak tanpa kejelasan darimana
mereka datang, dari benih siapa mereka ditanam, dan di rahim siapa roh mereka
ditiupkan. Disanalah aku bertumbuh, di panti asuhan yang menyerupai kumuh.
Lama A/S/L di monitor itu
kubiarkan. Jangan heran. Aku selalu begitu, selalu ragu menentukan berapa
usiaku. Mungkin orang di seberang sana
akan segera bosan. Aku tak tahu, aku tak mau tahu. Tapi rupanya dia tak bosan. Hiiii,
tulisnya. A/S/L plzzz. Kali ini kubaca ada intonasi yang merajuk.
Mungkin kau kembali heran. Aku punya kemampuan membaca sebaik mendengarkan.
Bagiku, huruf-huruf itu bukan sekedar konverter dari yang verbal menjadi yang
lateral. Huruf-huruf itu juga berjiwa, sebab itu ia mampu merajuk. Sebab itu
aku mampu menghayati nadanya. Rajuk yang menyerupai bujuk, mungkin semacam
genit rayuan untuk memaksaku menjelaskan siapa aku, identitas diriku.
Perempuankah kau yang di sana? Sebab nickname2-mu teramat
feminin, a_nissa, sedangkan nickname-ku sangat laki-laki. A_Brave
Heart, tidakkah kau rasakan aroma odor di situ? Manis yang di seberang, aku
tahu kamu penasaran. Aku tahu kamu menunggu. Maka, inilah aku : 25/M/Jkt.
Entah mengapa tiba-tiba kupilih
angka 25, mungkin karena aku merasa 25 adalah usia yang bergolak menuju
ketenangan. Sebab aku pernah membaca tentang seorang laki-laki yang hidup yatim
sejak lahir, piatu di usia tujuh tahun, menggembala domba saat remaja, dan
menikah di usia 25 tahun, bertapa di dalam pekat sebuah gua, lalu menjadi nabi
di usia 40. Ia mendidik masyarakat, sebab itu ia dinamai rasul. Tapi, itu
ratusan tahun yang lalu. Dan, aku tidak pernah menggembala domba, belum
menikah, tak pernah bertapa di dalam gua dan karena itu tak pernah menjadi
nabi. Meskipun yatim piatu yang kami alami hampir sama; aku sejak bayi, ia setelah
balita.
Mungkin juga karena 25 bisa
berarti 7, jika kita menjumlahkan dua angkanya: 2+5 = 7. Aku tahu angka itu
yang diperebutkan banyak pemain sepak bola profesional. Aku ingat sejumlah nama
dengan angka 7 di punggungnya. Orang-orang besar, dengan bakat-bakat besar,
sebagian, bahkan menjadi legenda. Bryan Robson, David Platt, Raul Gonzales,
atau David Beckham. Dan aku seorang penyuka bola, menonton juga bermain.
Bagiku, seorang gelandang dengan angka 7 di punggung selalu melahirkan rasa
kagum. Mereka memainkan permainan, memimpin, menyerang, bertahan dan mengatur
bola. Alangkah indah dan perkasanya.
“Kamu?” aku bertanya padanya,
subyek bernyawa di sekedar pendar cahaya monitor yang tak bernyawa. Aksara yang
membuat seonggok komputer menjadi berjiwa, di seberang sana . “Berapa usiamu, apa kelaminmu, dimana
kamu?” Manis..., beritahu aku tentang A/S/L-mu. Lama juga ia diam,
mungkin bingung mau menjawab apa, mungkin ia merasa seperti aku. Aku tak tahu,
aku tak mau tahu. Dan blink itu muncul lagi, dari dia, yang ternyata
benar seorang perempuan. Sebab sedari tadi aku tahu dari nickname-nya
yang manis, kini dari A/S/L-nya, 19/F/Sby. Amboi, perempuan 19
tahun dari Surabaya .
Kota yang jauh,
di pojok timur lekuk Pulau Jawa, dekat Madura. Kota yang konon kasar dan panas.
Perempuan dari Surabaya . Pasti ia fasih mengumpat atau
bahkan terbiasa mengumpat. Sebab di panti dulu aku punya pengasuh, perempuan
juga, ia bilang dari Surabaya .
Ia selalu mengumpat pada siapa saja, dengan mimik yang tak selalu marah. Ada jancuk, wedhus,
gathel, aku agak lupa. Tak kutahu persis artinya kecuali wedhus yang
berarti kambing. Tapi, kenapa kambing malah jadi umpatan? Menurutku kambing
bukan binatang yang menjengkelkan, ia hanya selalu terlihat kotor. Kadang lucu
malah. Lihatlah kupingnya yang tak seimbang dengan besar kepalanya. Dari
temanku asal Jogja, aku juga mendengar beberapa orang lebih suka mengumpat
dengan meneriakkan frase binatang, asu ajag. Asu ajag, dengan
muka marah. Benar-benar mengumpat. Asu ajag ‘anjing liar’ itu lebih pantas
sebagai umpatan ketimbang wedhus, kambing. Bukankah kambing bergizi
tinggi? Obat yang lezat dan nyaman bagi mereka yang bertekanan darah rendah
atau agak lemah syahwatnya. Aku tak tahu, aku tak mau tahu. Itu sudah lima tahun lalu.
Blink itu. Perempuan dari Surabaya . Belakangan aku
tahu ternyata dia tak pandai mengumpat, tak terbiasa mengumpat dan mengecam
keras orang-orang yang suka mengumpat. Lalu kami pun bercerita tentang apa saja
yang bisa diceritakan. Berdebat tentang segala yang pantas didebatkan. Berjanji
akan chatting lagi besoknya, besok dari besoknya, besoknya lagi, besok
dari besok besoknya, setelah besoknya besok dan besok dari setelah besoknya
besok lagi. Terus begitu, sebab ternyata ia perempuan yang bukan saja menarik,
tapi lebih dari itu. Sebab tak terasa kami telah saling jatuh cinta.
Entah kenapa ada yang selalu
memaksaku terpaku di nickname-nya. Kubayangkan ia adalah ibuku saat aku
balita, saat aku belajar merajuk, membujuk, dan manja. Tapi, aku tak pernah
benar-benar punya ibu. Beruntunglah aku, sebab tak pernah benar-benar tahu
wajah ibuku. Sebab jika aku tahu wajahnya, dan aku tahu wajahmu, wajahnya pasti
seperti wajahmu, tulisku, pada perempuan Surabaya
19 tahun itu suatu saat. “Karena itukah
kamu mencintaiku?” tanyamu. Atas pertanyaan itu aku tak tahu jawaban persisnya,
sebab tiba-tiba saja kami bersepakat untuk saling terikat. Sebab tiba-tiba saja
aku bagai kecanduan seperti juga ia merasa kecanduan. Plato pasti bergembira di
kuburnya, sebab ribuan tahun sesudah ia tak lagi ada ternyata masih ada manusia
yang tetap setia memeluk logikanya, bahkan urusan bercinta.
Perempuan dari Surabaya . Kamu begitu ranum dan muda. “Kenapa
kita terlibat dalam hubungan yang naïf?” Aku tak tahu. “Apakah pertautan emosi
bisa dijembatani, bahkan hanya dengan kode aksara dan angka-angka di layar
monitor yang semata-mata mati?” Bahkan ketika kita baru akan memulai. Aku tak
tahu kamu, kamu tak tahu aku. Hanya angka dan aksara tak bernyawa, alangkah
konyolnya.
Akhirnya
kukatakan padamu, “Aku ingin menikahimu” pada sebuah chatting kedua ratus tiga
puluh enam dengan Nissa, perempuan itu. Setelah berbulan-bulan kami menjadi
kekasih platonic, akhirnya kutulis juga kalimat itu. “Aku juga ingin
menikahimu,” jawabmu. Tapi kita belum pernah bertemu. Aku belum tahu tampak
seperti apa wajahmu, kamu juga belum tahu seperti apa aku, katamu melemparkan
argumen. Aku tahu persis kalau kamu pun tahu persis bahwa argumen itu telah
lama menjadi sekedar seonggok sampah. “Kamu hanya mengujiku, manis. Sudahkah
aku katakan padamu, wajahmu seperti wajah ibuku?” tanyaku padamu. “Kalau
ternyata tidak begitu?” tanyamu. “Lagi pula kamu tidak pernah bertemu ibumu,”
katamu lagi. Justru itu, wajah kamulah wajah ibuku. Diri kamulah ibu pencarianku. Jika kamu tak berwajah pun aku tetap akan
menikahimu, sebab aku mencintai jiwamu, bukan wajahmu. Kita menikah dengan
keyakinan, beranikah kamu? Dan kamu menjawab lama. ”Beri aku waktu dua minggu,”
katamu saat itu.
Dua minggu. Empat belas hari.
Lalu aku dan kamu kembali ke mesin besar itu. Dunia yang rakus memburu. Dunia
yang kadang membuat kita tak berdaya di dalamnya. Kita, sekedar sekrup kecil
atau bahkan pelumas, dari kekuatan yang bergerak entah untuk siapa dan
digerakkan oleh apa. Tapi aku selalu tersenyum. Lebih tersenyum dari kemarin dan
kemarinnya kemarin. Sebab ada mantra yang selalu kuhembuskan bersama segala apa
yang kami alami. Alangkah indahnya, alangkah berkobarnya, alangkah tegarnya.
Andai saja semua bisa kita jalani dengan keyakinan yang tergenggam.
Tapi, bahkan selama ini, beratus-ratus
hari yang lalu, dan juga menjelang meminangmu, sisa waktu dua minggu itu, kita
tak pernah berkirim gambar untuk sekedar mengatakan: hai...ini aku. Aku tahu,
kamu juga tahu, apa sih susahnya men-scan foto kita lalu
mengirimnya via email untuk orang yang kita cintai, orang yang akan kita
nikahi? Tapi, kita saling mencintai dengan yakin. Hanya yakin. Sebab bagi kita
cinta dan keyakinan telah resmi menjadi pemenang. Membiarkan bentuk raga dan
wajah menjadi sekedar sampah.
Dua minggu, waktu yang ternyata
terasa panjang untuk menunggu. Aku berdebar, seperti juga kamu di sana pasti berdebar. Hari
terakhir dari tiga ratus tiga puluh enam jam yang kau janjikan, hanya malam
pada jarum jam kedelapan yang kuharapkan. Sebab itu adalah waktu kita akan
bertemu. Kamu di rumah sedang aku harus ke warnet. Sebab kamu cukup kaya dan
aku lumayan miskin, bahkan untuk sekedar komputer plus modem.
Kekasih, di lampu perempatan
itulah aku termangu. Wahai traffic light
di perempatan, nyalakan merahmu cepat, sebentar saja, aku ingin menyeberang.
Tuhan, kenapa nyala hijau itu begitu lama? Seseorang, kekasihku, telah
menungguku di sana ,
di rumahnya, di Surabaya. Detak di jantungku meninggi saat warna merah di tiang
besiku itu benar-benar menyala. Malas! Wahai lampu perempatan, merahmu malas.
Tak seperti aku yang menyeberang gegas sebab kekasihku telah menunggu. Aku
melangkah seperti terbang. Melayang, seperti berenang, dalam rindu dan debar
yang pekat menggenang. Lihatlah, wajahku tersenyum sebab aku tahu kekasihku
telah menunggu.
Aku terus tersenyum, bahkan juga
saat bemper depan Peugeot 206 metalik itu menggerus tubuhku tepat di
perempatan. Kekasih, mobil itu sungguh kencang hingga aku tak sempat tahu
seperti apa rasa remuk di lututku. Mungkin anak muda di belakang kemudi itu membayangkan
dirinya Gronholm dan perempatan itu track lurus di seri WRC Monaco atau Athena.
Mungkin baginya aku hanyalah gravel panas yang pantas dilintas. Tapi aku tetap
tersenyum, bahkan juga saat bahuku terasa redam dan tubuhku benar-benar terbang
melintasi kap, melayang di atas spoiler belakang seperti anak kucing dilempar,
lalu terbanting di aspal. Aku tahu orang-orang segera merubung, mungkin mereka
takjub pada debum, luka dan tragedi. Keras aspal telah memecahkan tulang-tulang
dan kepalaku dengan darah yang bercecer. Perempatan itu riuh di malam hari
menjelang jam delapan. Mobil itu tak juga segera berhenti, ia menabrak tiang.
Aku tetap tersenyum saat el-maut memelukku, menawarkan damai yang penuh.
Wahai, malaikat mautku, kumohon
jangan dulu kau peluk aku, kekasihku menunggu, kataku padanya. Kami bertatapan
lama, seperti berbicara. Aku menunggu anggukan itu. Ada yang sedang kami negosiasikan: takdirku.
Tapi ia tak menjawab, hanya melemparkan seringai yang menuntut, senyum yang
mengajak.
Nissa, maafkan aku. Kita tak jadi
bertemu, aku tak jadi menikahimu. Peugeot mungil itu telah memanggilkan el-maut
untukku. Aku tahu matamu basah saat arlojimu menunjuk angka sembilan dan nickname
yang kau tunggu belum juga muncul di chattroom. Aku tahu kamu menunggu,
menyapamu dengan hangat seperti kemarin-kemarin itu. Ingin aku ke situ
memberitahu yang terjadi, el-maut itu telah membekapku. Dan aku tetap
tersenyum, entah untuk apa. Mungkin gembira sebab perih ini akan segera
mengantarku bertemu Dia. Wahai Maha Kala, seperti apakah wajah-Mu? Kepada-Mu
sudah lama aku rindu. Tapi Tuhan, kekasihku menunggu, apakah Kau tidak tahu?
Apakah percintaan kami tak Kau beri restu?
Kekasih, malam ini ada tragedi
yang engkau tak mengerti (selalu ada yang tak bisa kita mengerti dari cinta dan
kematian). Namun, besok pagi kau akan mengerti, sebab koran pagi atau televisi
akan memuat berita yang judul dan isinya nyaris sama: Putra Pejabat Tinggi
Tewas dalam Kecelakaan Mobil di Perempatan X --Telah terjadi kecelakaan hebat
di perempatan X Jakarta, Rabu malam kemarin. Rako, seorang pemuda 25 tahun
tewas seketika saat sebuah sedan menabraknya dengan kecepatan tinggi. Pengemudi
mobil itu, BS, remaja 18 tahun, putra pejabat penting di Departemen P ikut
tewas dalam kecelakaan tersebut karena mobilnya menabrak tiang listrik. Menurut
saksi mata, pada Rabu malam kira-kira pukul 19:45, mobil itu melaju kencang,
melanggar lampu merah lalu menabrak tubuh Rako, seorang pekerja sosial di
sebuah LSM di pinggiran Jakarta .
Diduga BS mengemudi di bawah pengaruh alkohol. Polisi masih mengusut kasus ini--
Kamis
pagi itu, kau tahu. Ada
seorang perempuan muda, kekasihku, tak jadi berangkat pergi. Koran pagi telah
mengirimkan pita hitam, bahkan pisau paling tajam. Menikam tepat di jantung, di
hati, di cintanya. Tak ada lagi yang diharapkan, hanya sesal yang mendalam. Dia
pingsan, mungkin tak pernah siuman.
27 Agustus 2003
1) A/S/L plz, kependekan dari Age/Sex/Location
please. Pertanyaan introduksi
dalam chatting
2) Nama
samaran saat kita chatt yang menunjukkan ‘siapa’ kita