Selasa, 31 Juli 2012


A/S/L


KOTAK mungil chattroom di pojok monitor itu berkedip. Sebuah blink yang menandakan ada seseorang jauh di sana, entah dimana, sedang menyapa. Hi...(baca Hai) katanya. Hi too, aku menjawab, memberinya kehangatan yang setimpal. A/S/L plz1, dia menyahut lagi, mengirim pertanyaan awal untukku, bersemangat. Wahai engkau yang di seberang, tak sadarkah kau bahwa bagiku itu adalah pertanyaan tersulit.

Identifikasi diri dalam angka aksara, rangkaian simbol dan penandaan yang aneh untuk sekedar menandai usia, jenis kelamin, dan lokasi. Untuk S dan L, aku pasti akan menjawabnya dengan M/Jkt, sebab aku laki-laki (Male) dan saat ini ada di Jakarta. Namun untuk A, dengan angka berapa aku harus menjelaskan? 

Sebab usiaku tak jelas betul. Siapa ayah ibuku tak pernah betul-betul jelas. Mungkin A/S/L itu memang sekedar pertanyaan standar dalam interaksi dua arah di dunia maya yang bagi orang lain kelihatan normal. Namun sungguh, dia begitu menohok bagiku. A/S/L. A/S/L Keparat itu, dia selalu menjebakku dalam perih.

Membaca blink di layar itu aku jadi teringat masa lalu. Lubang cacing yang berliku di labirin otakku berdenyut, terasa lembab dan kelam di kepala. Aku ingat, saat aku mulai bisa mengingat, yang pertama kuingat adalah ingatanku tentang lorong-lorong, yang selalu kuingat sebagai bangunan tua menyerupai bangsal. Disanalah aku tumbuh sebagai bayi, balita hingga remaja. Kemudian aku tahu orang-orang menyebut lorong itu panti asuhan, sebab di sana diasuh anak-anak, juga balita, seperti aku. Anak-anak tanpa kejelasan darimana mereka datang, dari benih siapa mereka ditanam, dan di rahim siapa roh mereka ditiupkan. Disanalah aku bertumbuh, di panti asuhan yang menyerupai kumuh.

Lama A/S/L di monitor itu kubiarkan. Jangan heran. Aku selalu begitu, selalu ragu menentukan berapa usiaku. Mungkin orang di seberang sana akan segera bosan. Aku tak tahu, aku tak mau tahu. Tapi rupanya dia tak bosan. Hiiii, tulisnya. A/S/L plzzz. Kali ini kubaca ada intonasi yang merajuk. Mungkin kau kembali heran. Aku punya kemampuan membaca sebaik mendengarkan. Bagiku, huruf-huruf itu bukan sekedar konverter dari yang verbal menjadi yang lateral. Huruf-huruf itu juga berjiwa, sebab itu ia mampu merajuk. Sebab itu aku mampu menghayati nadanya. Rajuk yang menyerupai bujuk, mungkin semacam genit rayuan untuk memaksaku menjelaskan siapa aku, identitas diriku. Perempuankah kau yang di sana? Sebab nickname2-mu teramat feminin, a_nissa, sedangkan nickname-ku sangat laki-laki. A_Brave Heart, tidakkah kau rasakan aroma odor di situ? Manis yang di seberang, aku tahu kamu penasaran. Aku tahu kamu menunggu. Maka, inilah aku : 25/M/Jkt.

Entah mengapa tiba-tiba kupilih angka 25, mungkin karena aku merasa 25 adalah usia yang bergolak menuju ketenangan. Sebab aku pernah membaca tentang seorang laki-laki yang hidup yatim sejak lahir, piatu di usia tujuh tahun, menggembala domba saat remaja, dan menikah di usia 25 tahun, bertapa di dalam pekat sebuah gua, lalu menjadi nabi di usia 40. Ia mendidik masyarakat, sebab itu ia dinamai rasul. Tapi, itu ratusan tahun yang lalu. Dan, aku tidak pernah menggembala domba, belum menikah, tak pernah bertapa di dalam gua dan karena itu tak pernah menjadi nabi. Meskipun yatim piatu yang kami alami hampir sama; aku sejak bayi, ia setelah balita.

Mungkin juga karena 25 bisa berarti 7, jika kita menjumlahkan dua angkanya: 2+5 = 7. Aku tahu angka itu yang diperebutkan banyak pemain sepak bola profesional. Aku ingat sejumlah nama dengan angka 7 di punggungnya. Orang-orang besar, dengan bakat-bakat besar, sebagian, bahkan menjadi legenda. Bryan Robson, David Platt, Raul Gonzales, atau David Beckham. Dan aku seorang penyuka bola, menonton juga bermain. Bagiku, seorang gelandang dengan angka 7 di punggung selalu melahirkan rasa kagum. Mereka memainkan permainan, memimpin, menyerang, bertahan dan mengatur bola. Alangkah indah dan perkasanya.

“Kamu?” aku bertanya padanya, subyek bernyawa di sekedar pendar cahaya monitor yang tak bernyawa. Aksara yang membuat seonggok komputer menjadi berjiwa, di seberang sana. “Berapa usiamu, apa kelaminmu, dimana kamu?” Manis..., beritahu aku tentang A/S/L-mu. Lama juga ia diam, mungkin bingung mau menjawab apa, mungkin ia merasa seperti aku. Aku tak tahu, aku tak mau tahu. Dan blink itu muncul lagi, dari dia, yang ternyata benar seorang perempuan. Sebab sedari tadi aku tahu dari nickname-nya yang manis, kini dari A/S/L-nya, 19/F/Sby. Amboi, perempuan 19 tahun dari Surabaya. Kota yang jauh, di pojok timur lekuk Pulau Jawa, dekat Madura. Kota yang konon kasar dan panas.

Perempuan dari Surabaya. Pasti ia fasih mengumpat atau bahkan terbiasa mengumpat. Sebab di panti dulu aku punya pengasuh, perempuan juga, ia bilang dari Surabaya. Ia selalu mengumpat pada siapa saja, dengan mimik yang tak selalu marah. Ada jancuk, wedhus, gathel, aku agak lupa. Tak kutahu persis artinya kecuali wedhus yang berarti kambing. Tapi, kenapa kambing malah jadi umpatan? Menurutku kambing bukan binatang yang menjengkelkan, ia hanya selalu terlihat kotor. Kadang lucu malah. Lihatlah kupingnya yang tak seimbang dengan besar kepalanya. Dari temanku asal Jogja, aku juga mendengar beberapa orang lebih suka mengumpat dengan meneriakkan frase binatang, asu ajag. Asu ajag, dengan muka marah. Benar-benar mengumpat. Asu ajag ‘anjing liar’ itu lebih pantas sebagai umpatan ketimbang wedhus, kambing. Bukankah kambing bergizi tinggi? Obat yang lezat dan nyaman bagi mereka yang bertekanan darah rendah atau agak lemah syahwatnya. Aku tak tahu, aku tak mau tahu. Itu sudah lima tahun lalu.

Blink itu. Perempuan dari Surabaya. Belakangan aku tahu ternyata dia tak pandai mengumpat, tak terbiasa mengumpat dan mengecam keras orang-orang yang suka mengumpat. Lalu kami pun bercerita tentang apa saja yang bisa diceritakan. Berdebat tentang segala yang pantas didebatkan. Berjanji akan chatting lagi besoknya, besok dari besoknya, besoknya lagi, besok dari besok besoknya, setelah besoknya besok dan besok dari setelah besoknya besok lagi. Terus begitu, sebab ternyata ia perempuan yang bukan saja menarik, tapi lebih dari itu. Sebab tak terasa kami telah saling jatuh cinta.

Entah kenapa ada yang selalu memaksaku terpaku di nickname-nya. Kubayangkan ia adalah ibuku saat aku balita, saat aku belajar merajuk, membujuk, dan manja. Tapi, aku tak pernah benar-benar punya ibu. Beruntunglah aku, sebab tak pernah benar-benar tahu wajah ibuku. Sebab jika aku tahu wajahnya, dan aku tahu wajahmu, wajahnya pasti seperti wajahmu, tulisku, pada perempuan Surabaya 19 tahun itu suatu saat.  “Karena itukah kamu mencintaiku?” tanyamu. Atas pertanyaan itu aku tak tahu jawaban persisnya, sebab tiba-tiba saja kami bersepakat untuk saling terikat. Sebab tiba-tiba saja aku bagai kecanduan seperti juga ia merasa kecanduan. Plato pasti bergembira di kuburnya, sebab ribuan tahun sesudah ia tak lagi ada ternyata masih ada manusia yang tetap setia memeluk logikanya, bahkan urusan bercinta.

Perempuan dari Surabaya. Kamu begitu ranum dan muda. “Kenapa kita terlibat dalam hubungan yang naïf?” Aku tak tahu. “Apakah pertautan emosi bisa dijembatani, bahkan hanya dengan kode aksara dan angka-angka di layar monitor yang semata-mata mati?” Bahkan ketika kita baru akan memulai. Aku tak tahu kamu, kamu tak tahu aku. Hanya angka dan aksara tak bernyawa, alangkah konyolnya.

Akhirnya kukatakan padamu, “Aku ingin menikahimu” pada sebuah chatting kedua ratus tiga puluh enam dengan Nissa, perempuan itu. Setelah berbulan-bulan kami menjadi kekasih platonic, akhirnya kutulis juga kalimat itu. “Aku juga ingin menikahimu,” jawabmu. Tapi kita belum pernah bertemu. Aku belum tahu tampak seperti apa wajahmu, kamu juga belum tahu seperti apa aku, katamu melemparkan argumen. Aku tahu persis kalau kamu pun tahu persis bahwa argumen itu telah lama menjadi sekedar seonggok sampah. “Kamu hanya mengujiku, manis. Sudahkah aku katakan padamu, wajahmu seperti wajah ibuku?” tanyaku padamu. “Kalau ternyata tidak begitu?” tanyamu. “Lagi pula kamu tidak pernah bertemu ibumu,” katamu lagi. Justru itu, wajah kamulah wajah ibuku.  Diri kamulah ibu pencarianku.  Jika kamu tak berwajah pun aku tetap akan menikahimu, sebab aku mencintai jiwamu, bukan wajahmu. Kita menikah dengan keyakinan, beranikah kamu? Dan kamu menjawab lama. ”Beri aku waktu dua minggu,” katamu saat itu.

Dua minggu. Empat belas hari. Lalu aku dan kamu kembali ke mesin besar itu. Dunia yang rakus memburu. Dunia yang kadang membuat kita tak berdaya di dalamnya. Kita, sekedar sekrup kecil atau bahkan pelumas, dari kekuatan yang bergerak entah untuk siapa dan digerakkan oleh apa. Tapi aku selalu tersenyum. Lebih tersenyum dari kemarin dan kemarinnya kemarin. Sebab ada mantra yang selalu kuhembuskan bersama segala apa yang kami alami. Alangkah indahnya, alangkah berkobarnya, alangkah tegarnya. Andai saja semua bisa kita jalani dengan keyakinan yang tergenggam.

Tapi, bahkan selama ini, beratus-ratus hari yang lalu, dan juga menjelang meminangmu, sisa waktu dua minggu itu, kita tak pernah berkirim gambar untuk sekedar mengatakan: hai...ini aku. Aku tahu, kamu juga tahu, apa sih susahnya men-scan foto kita lalu mengirimnya via email untuk orang yang kita cintai, orang yang akan kita nikahi? Tapi, kita saling mencintai dengan yakin. Hanya yakin. Sebab bagi kita cinta dan keyakinan telah resmi menjadi pemenang. Membiarkan bentuk raga dan wajah menjadi sekedar sampah.

Dua minggu, waktu yang ternyata terasa panjang untuk menunggu. Aku berdebar, seperti juga kamu di sana pasti berdebar. Hari terakhir dari tiga ratus tiga puluh enam jam yang kau janjikan, hanya malam pada jarum jam kedelapan yang kuharapkan. Sebab itu adalah waktu kita akan bertemu. Kamu di rumah sedang aku harus ke warnet. Sebab kamu cukup kaya dan aku lumayan miskin, bahkan untuk sekedar komputer plus modem.

Kekasih, di lampu perempatan itulah aku termangu. Wahai traffic light di perempatan, nyalakan merahmu cepat, sebentar saja, aku ingin menyeberang. Tuhan, kenapa nyala hijau itu begitu lama? Seseorang, kekasihku, telah menungguku di sana, di rumahnya, di Surabaya. Detak di jantungku meninggi saat warna merah di tiang besiku itu benar-benar menyala. Malas! Wahai lampu perempatan, merahmu malas. Tak seperti aku yang menyeberang gegas sebab kekasihku telah menunggu. Aku melangkah seperti terbang. Melayang, seperti berenang, dalam rindu dan debar yang pekat menggenang. Lihatlah, wajahku tersenyum sebab aku tahu kekasihku telah menunggu.

Aku terus tersenyum, bahkan juga saat bemper depan Peugeot 206 metalik itu menggerus tubuhku tepat di perempatan. Kekasih, mobil itu sungguh kencang hingga aku tak sempat tahu seperti apa rasa remuk di lututku. Mungkin anak muda di belakang kemudi itu membayangkan dirinya Gronholm dan perempatan itu track lurus di seri WRC Monaco atau Athena. Mungkin baginya aku hanyalah gravel panas yang pantas dilintas. Tapi aku tetap tersenyum, bahkan juga saat bahuku terasa redam dan tubuhku benar-benar terbang melintasi kap, melayang di atas spoiler belakang seperti anak kucing dilempar, lalu terbanting di aspal. Aku tahu orang-orang segera merubung, mungkin mereka takjub pada debum, luka dan tragedi. Keras aspal telah memecahkan tulang-tulang dan kepalaku dengan darah yang bercecer. Perempatan itu riuh di malam hari menjelang jam delapan. Mobil itu tak juga segera berhenti, ia menabrak tiang. Aku tetap tersenyum saat el-maut memelukku, menawarkan damai yang penuh.

Wahai, malaikat mautku, kumohon jangan dulu kau peluk aku, kekasihku menunggu, kataku padanya. Kami bertatapan lama, seperti berbicara. Aku menunggu anggukan itu. Ada yang sedang kami negosiasikan: takdirku. Tapi ia tak menjawab, hanya melemparkan seringai yang menuntut, senyum yang mengajak.

Nissa, maafkan aku. Kita tak jadi bertemu, aku tak jadi menikahimu. Peugeot mungil itu telah memanggilkan el-maut untukku. Aku tahu matamu basah saat arlojimu menunjuk angka sembilan dan nickname yang kau tunggu belum juga muncul di chattroom. Aku tahu kamu menunggu, menyapamu dengan hangat seperti kemarin-kemarin itu. Ingin aku ke situ memberitahu yang terjadi, el-maut itu telah membekapku. Dan aku tetap tersenyum, entah untuk apa. Mungkin gembira sebab perih ini akan segera mengantarku bertemu Dia. Wahai Maha Kala, seperti apakah wajah-Mu? Kepada-Mu sudah lama aku rindu. Tapi Tuhan, kekasihku menunggu, apakah Kau tidak tahu? Apakah percintaan kami tak Kau beri restu?

Kekasih, malam ini ada tragedi yang engkau tak mengerti (selalu ada yang tak bisa kita mengerti dari cinta dan kematian). Namun, besok pagi kau akan mengerti, sebab koran pagi atau televisi akan memuat berita yang judul dan isinya nyaris sama: Putra Pejabat Tinggi Tewas dalam Kecelakaan Mobil di Perempatan X --Telah terjadi kecelakaan hebat di perempatan X Jakarta, Rabu malam kemarin. Rako, seorang pemuda 25 tahun tewas seketika saat sebuah sedan menabraknya dengan kecepatan tinggi. Pengemudi mobil itu, BS, remaja 18 tahun, putra pejabat penting di Departemen P ikut tewas dalam kecelakaan tersebut karena mobilnya menabrak tiang listrik. Menurut saksi mata, pada Rabu malam kira-kira pukul 19:45, mobil itu melaju kencang, melanggar lampu merah lalu menabrak tubuh Rako, seorang pekerja sosial di sebuah LSM di pinggiran Jakarta. Diduga BS mengemudi di bawah pengaruh alkohol. Polisi masih mengusut kasus ini--

Kamis pagi itu, kau tahu. Ada seorang perempuan muda, kekasihku, tak jadi berangkat pergi. Koran pagi telah mengirimkan pita hitam, bahkan pisau paling tajam. Menikam tepat di jantung, di hati, di cintanya. Tak ada lagi yang diharapkan, hanya sesal yang mendalam. Dia pingsan, mungkin tak pernah siuman.



 27 Agustus 2003


  
1) A/S/L plz, kependekan dari Age/Sex/Location please.    Pertanyaan introduksi dalam chatting
2)  Nama samaran saat kita chatt yang menunjukkan ‘siapa’ kita