Penggalan
Spiritualisme di Bawah Kabut Bagus Jati
Desa Sebatu menyambut saya dengan kabutnya. 10.30 pagi. Tujuan saya Bagus Jati. Konon, sensualitas hutan tropis berpadu dengan kemurnian spiritualitas, harmonis bersama keramahan para karyawannya. Seperti apa?
DESA
eksotis ini berada di Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, gudangnya seni,
rumah besarnya para seniman. Sebatu yang melahirkan Bagus Jati Health &
Wellbeing Retreat, memang punya keanggunan tersendiri.
Perlahan
saya memasuki pelataran parkirnya. Dari jendela mobil yang terbuka, semilir
bayu menerpa lembut wajah saya. Saya turun dari mobil, berjalan masuk ke tempat
yang belum pernah saya datangi. Belum belasan langkah, saya sudah disambut
seorang laki-laki dan perempuan. Mereka menyapa dengan hangat. Seorang karyawan
berbisik, “Itu Pak Bagus dan ibu, Anda sudah ditunggu sejak tadi.”
Bagus Sudibya adalah satu dari sederetan
nama yang masuk dalam kategori pengusaha Bali sukses. Putra kelahiran
Karangasem, 22 Agustus 1952 ini tergolong kawakan di bisnis pariwisata. Hotel,
villa dan spa, biro perjalanan, agrowisata, sampai kapal pesiar, dibangun di
bawah payung Bagus Discovery. Gurita bisnisnya bahkan sampai ke Papua. The
Baliem Valley Resort adalah hotel mewah miliknya di Baliem.
Di pesisir utara, hotel miliknya
adalah Puri Bagus Villa Resort Lovina, Buleleng, dan Puri Bagus Villa Resort
Manggis. Bagus Sudibya juga pemilik perusahaan biro perjalanan bernama Nusa Dua
Bali Tours & Travel, yang beroperasi sejak tahun 1985. Bisnis agrowisata juga
dirambahnya. Bagus Agro Pelaga di Desa Pelaga, Kabupaten Badung, berkembang
pesat di lahan 20 hektare miliknya. Dan ia bersama istrinya yang cantik telah
menunggu saya.
Saya diajak duduk di sebuah gazebo,
10 menit kemudian pure orange juice
ada di hadapan saya. Sambil meneguknya, Bagus Sudibya menceritakan ikhwal tempat
ini.
Bali makin banyak dikunjungi
wisatawan, namun peran orang Bali tak berjalan sejajar. Begitu pendapat Bagus
Sudibya. “Investasi besar, misalnya hotel yang punya 50 kamar ke atas, bukanlah
milik orang lokal,” bukanya. Padahal di lain sisi, konsistensi pemerintah luar
biasa dalam mempertahankan pariwisata Bali sebagai pariwisata budaya. Bagus mencontohkah
Nara dan Tokyo di Jepang yang mengusung cultural
tourism. “Tidak terlalu keren mereka menyebutnya, tapi secara detail mereka
merencanakan dan melaksanakanya,” kata suami Djaya Wardani ini. Untuk itu,
implementasi konkret mestinya direalisasikan dengan pembangunan grand design pariwisata yang tepat dan
berkelanjutan.
Pariwisata Bali tak lepas dari kultur
pertanian. Pertanian Bali tak luput dari ke-Hindu--an masyarakatnya. Inilah
awal Bagus mulai menggarap 5 hektar lahannya. Konsep budaya Bali untuk
pariwisata yang dibangunnya tidaklah semata untuk meraup keuntungan pribadi. “Saya
ingin mendengar petani kita bangga terhadap profesinya. Saya ingin mendengar
mereka berdoa, ya Tuhan, saya ingin anak saya nanti menjadi petani seperti
saya,” harapnya.
Bagus mencatat, wisatawan
membelanjakan Rp 10 triliun per tahun di Bali untuk food and beverage saja. “Kemana uang itu? Apakah petani kita turut
menikmatinya?” tanyanya. Bagus berpendapat harus ada dukungan politik
pemerintah bersama DPRD dalam merumuskan sebuah peraturan daerah khusus tentang
pola pengelolaan berbagai bentuk perusahaan di Bali. Sehingga nantinya seluruh
masyarakat dapat menikmati kue pariwisata tersebut.
30 tahun mencari bentuk dan model
untuk lahan 5 hektar, Bagus mengaku inilah embrio yang akan terus
dikembangkannya di Bagus Jati. Kebun organik Bagus Jati punya porsi besar
dibandingkan fisik 20 villa, fitness center,
kolam renang, restoran, plus paviliun untuk yoga dan meditasi. Durian, Jeruk
Thailand, Jeruk Bali, terung, strawberry, daun mint, asparagus dan labu tumbuh
subur pada tanah Bagus Jati.
Mempekerjakan 75 orang karyawan
yang hampir 70% adalah warga setempat cukup membanggakan bagi alumnus Harnack
Schule di Berlin, Jerman (1975-1976), The Oxford Academy of English di Inggris
(1976-1977), dan Institute of Tourism and Hotel Management di Salzburg, Austria
(1977-1980) ini. “Merubah mindset dan kebiasaan orang untuk giat bekerja dan
disiplin bukanlah hal mudah. Dan 15 tahun saya mengupayakan itu,” kata ayah
empat anak ini sambil mengajak saya berjalan-jalan di areal villa. Kami pun
sempat melihat beberapa tamu yang mengikuti cooking
class. Kelas memasak itu dilakukan setelah para tamu puas memetik hasil
kebun Bagus Jati. Mereka memasak hasil petikannya sendiri.
Usaha Bagus juga tersebar di Bali
bagian selatan, timur, dan utara. Misalnya, Puri Bagus Villa Resort Candidasa
berlokasi di Kabupaten Karangasem, bagian timur Bali.
Arloji saya menunjukkan pukul 13.00
saat hujan mulai turun. Bagus dan sang istri mengajak kami ke restoran. Saatnya
makan siang! Saya disuguhi salah satu menu andalan, yaitu bebek goreng. Hmmmm…daging
bebeknya yang lembut saya nikmati bersama nasi beras merah. Lidah saya sungguh
dimanjakan.
Usai santap siang, hujan reda. Kembali
kami berjalan-jalan mengitari areal berketinggian 685 meter dari permukaan laut
itu. Tampaknya, Jeruk Thailand yang mulai kekuningan tanda matang menunggu
tangan jahil saya untuk memetiknya. Bagus pun mengijinkan saya. Dan…ternyata
jeruk organik matang yang baru dipetik sangatlah segar. Sedikit rasa asam
menyempurnakan manisnya yang dominan.
Kami terus mengitari lokasi. Tiba-tiba
mata saya tercekat oleh pemandangan teduh. Sepasang suami istri muda asal
Jepang dengan canang di hadapannya memejamkan mata dengan kedua tangan
terangkat ke atas. Penyembahan. “Mereka tidak hanya belajar sembahyang ala
Hindu. Dari mengumpulkan bahan, lalu membuat canang, mereka lakukan sendiri.
Canang itu buatan mereka,” kata Bagus setengah berbisik. “Apa masyarakat kita
masih melakukan hal itu?” Bagus berretorika. Bagus Jati rupanya menawarakan sepenggal
spiritualisme yang paripurna.
Sore merangkak turun. Kabut mulai
berkumpul. Jujur, saya enggan meninggalkan tempat senirwana ini. Tapi tugas
menanti saya. Untuk buah tangan, Bagus menyuruh seorang karyawannya memetik dua
buah durian. Mereka saya bawa pulang.
Bagus Jati. Tempat yang akan saya
kunjungi lagi. Pasti…