Senin, 13 Agustus 2012


Melawat Lontar di Istananya Sendiri


Dalam lontar tersimpul pengetahuan filsafat, agama, etika, estetika, arsitektur, astronomi, dan pengobatan. Juga cara hidup dan mati yang baik.

JUNI lalu, ada pameran lontar di Art Center. Pameran ini pertama kalinya digelar pada ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XXXIV. Menyajikan Lontar Usada dengan segenap keluguan, kekayaan, serta suratan takdirnya. Beberapa kali saya datang ke sana, merasa perlu untuk tahu. Jangan sampai bule lebih fasih bercerita tentang lontar dibanding orang Bali sendiri.


Lontar, secara umum, menawarkan hal-hal praktis, sampai filosofis spekulatif. Populasinya tersebar di seluruh Bali, tersimpan di rumah-rumah penduduk seperti Geria, Puri, Jero dan perseorangan.

Koleksi lontar kurang didukung oleh sarana, prasarana, serta SDM memadai, sesuai kebutuhan pelestarian lontar. Lontar masih disimpan dengan cara tradisional, yang mengakibatkan mudahnya terjadi pelapukan dan kerusakan. Ruang penyimpanan yang tidak memenuhi standar, dan belum lengkapnya katalog, tak hanya dialami Perpustakaan Lontar Gedong Kirtya. Pun pada Pusat Dokumentasi Provinsi Bali. Di pameran itu saya tahu.

Bali tengah berupaya melakukan penyelamatan karya-karya sastra dan budaya dalam lontar melalui proses digitalisasi. Ide digitalisasi muncul sejak Januari 2011. Dengan kemudahan yang ditawarkan itu, masyarakat akan lebih dekat dengan sejarah dan babad. Jelas.

Pameran Lontar Usada ini dimaksudkan untuk membangun kembali keluhuran, kejayaan intelektualitas para leluhur yang diwariskan pada kita yang faktanya makin dilupakan. Lontar adalah satu-satunya manuskrip tua yang ada di muka bumi ini, yang paling lengkap membahas tidak hanya usada atau pengobatan, tapi juga kehidupan termasuk tata pemerintahan, dan itu diakui dunia.

Dan generasi muda sudah melakukan dua hal, yaitu melupakannya dan menganggap lontar bukan apa-apa. 
  
Bagaimana Lontar Dilestarikan dengan Dana Swadaya?
Kegiatan konservasi dan preservasi tak hanya pembersihan fisik lontar, juga termasuk reparasi, restorasi, penataan, dan penyimpanan. Selain konservasi dan preservasi, langkah lanjutan yang penting dilakukan adalah mentransliterasi (menyalin dari satu jenis huruf ke jenis huruf yang lain, misalnya dari huruf Bali ke huruf Latin) dan menerjemahkannya. Drs. Dewa Made Darmawan, M.Si, Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, aktivis pelestari lontar, menerangkan pada saya tentang hal itu.

Jika konservasi dan preservasi dilakukan untuk melestarikan lontar sebagai bentuk warisan budaya karena faktor historis dan isinya, maka transliterasi dan terjemahan dilakukan untuk menyediakan bahan awal guna menyebarluaskan lontar pada masyarakat yang tidak (lagi) mengenal bahasa maupun Aksara Bali, tapi ingin memahami lebih mendalam isi lontar.

Lontar tidak awet dibandingkan prasasti batu atau lempengan kuningan. Ujung-ujungnya berumbai, uratnya meretak dimakan serangga, sehingga lekas rapuh. Maka berjasalah minyak kemiri, minyak sereh, dan alkohol.

Campuran alkohol dan minyak sereh dengan konsentrasi tertentu mampu membersihkan kotoran dan mencegah ketegangan (renyah) sehingga lontar kembali lentur dan tidak mudah patah. Serangga (rayap maupun ngengat), juga terusir dengan campuran ini. Sedangkan lontar yang aksaranya mulai kurang jelas dapat dihitamkan. Bahan terbaik untuk menghitamkan adalah dengan hasil bakaran buah kemiri.

Butuh biaya US$ 350 atau setara Rp 3 juta lebih hanya untuk pengadaan tiga bahan utama di atas, per bulan. “Biaya tersebut kami upayakan secara swadaya. Siapa yang peduli pada lontar, ya menyumbang. Pemerintah belum memberi bantuan dana,” kata pria kelahiran tahun 1959 ini.

Dalam waktu 18 bulan, 8 awak berhasil mendigitalisasi 2.916 takep atau 146.360 lembar lontar. Mereka berjenis Babad, Geguritan, Kalpasastra, Kanda, Kekawin, Kidung, Mantra Astawa, niti Sastra, Pala Kertha, Parwa, Satua, Sesana, Tantri, Tutur, Usada dan Wariga.

Idealnya, konservasi fisik lontar dilakukan setiap 6 bulan sekali. Kerap dilaksanakan pada seputar Piodalan Saraswati yang diyakini Umat Hindu sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsinya sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan.

Darmawan miris, lontar kurang mendapat penghargaan yang layak. Kameranya sempat  membidik bak sampah yang diletakkan tepat di depan penunjuk arah lokasi pameran. “Ini salah satu bukti bahwa tidak ada penghargaan untuk lontar,” tegasnya.

Siapa Tuan Rumah Lontar?
Masih dalam kurun PKB, sebuah diskusi digitalisasi lontar mengungkap fakta Museum Leiden, Belanda, yang menyimpan ribuan pustaka dan pusaka milik Bali. Tak terkecuali, lontar.

Seorang antropolog, ahli Sastra Bali dan Jawa Kuno, Sugi Lanus, mengatakan masyarakat tak boleh berpikir negatif atas eksistensi Museum Leiden. “Koleksi lontar di Leiden cukup banyak. Ada yang memang asli dibawa saat pemerintahan kolonial Belanda dan yang disalin dari masyarakat Bali untuk disimpan di museum tersebut,” ujar periset ini.

Namun, dengan disepakatinya kerjasama antara Pemprov Bali dengan Museum Leiden untuk menelusuri manuskrip kuno, jelas membuka akses untuk mendapatkan koleksi lontar yang dibawa saat jaman penjajahan tersebut. “Sebenarnya, Leiden sangat terbuka bagi masyarakat. Contohnya, saya sendiri berhasil mengopi lebih dari 300 judul lontar di sana,” tambahnya.

Dalam sebuah perang, manusia melawan manusia, pengetahuan melawan pengetahuan, dan senjata melawan senjata. Sejarah mencatat, Belanda menang. Pustaka dan pusaka Bali dirampas, kewenangan mengatur rakyat diambil alih. Tapi ada sesuatu yang tak berhasil dirampas Belanda, yaitu jiwa yang membuat pustaka dan pusaka itu ada. Jiwa abstrak berwujud semangat itu ternyata tidak mati oleh perang. Setelah perang berlalu, pustaka dan pusaka itu diadakan kembali. Namun, berhasilkah kita menjaganya?

Digitalisasi Lontar
Bersama Darmawan, Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Dr. I Nyoman Catra, S.ST, MA, menggagas digitalisi lontar di Bali. Menurut Catra, masih banyak lontar Aksara Bali yang tercecer dan tak terawat. “Dengan digitalisasi, lontar-lontar beraksara Bali sudah bisa diterjemahkan, sehingga bisa dibaca kembali dan dimengerti oleh siapa saja,” ungkap Catra. Proses digitalisasi ini dialihaksarakan ke dalam tiga bahasa yaitu Kawi, Indonesia dan Inggris.

Saat pameran, alat untuk digitalisasi lontar yang semula ditempatkan di Dinas Kebudayaan Bali, dipindahkan sementara ke Gedung Lontar Art Center selama PKB berlangsung. Saat itu, lontar kuno Anda bisa mendapatkan perawatan. Gratis. Setelahnya, silahkan simpan kembali.

Prof. Ron Jenkins dari Wesleyan university, yang sempat hadir dalam diskusi, menjelaskan bahwa seluruh Lontar Bali yang berhasil didigitalisasi dan disimpan dalam archive.org, perpustakaan online yang bisa diakses dunia, berjumlah 2.769 takep. “Dengan digitalisasi lontar ini, para mahasiswa dari banyak universitas di dunia dapat mengenal lontar. Mereka tidak hanya mengetahui fisiknya, namun juga isinya, karena ada banyak lontar yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris,” aku Jenkins.     

Selanjutnya, para aktivis lontar ini akan mencari rumusan kerjasama lainnya dengan pihak archive.org terkait pelestarian Lontar Bali.

Sungguhkah lontar milik kita?