Melawat Lontar di Istananya Sendiri
Dalam lontar tersimpul pengetahuan filsafat, agama, etika, estetika, arsitektur, astronomi, dan pengobatan. Juga cara hidup dan mati yang baik.
JUNI lalu, ada pameran lontar di Art Center. Pameran ini pertama kalinya
digelar pada ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XXXIV. Menyajikan Lontar Usada
dengan segenap keluguan, kekayaan, serta suratan takdirnya. Beberapa kali saya
datang ke sana, merasa perlu untuk tahu. Jangan sampai bule lebih fasih bercerita
tentang lontar dibanding orang Bali sendiri.
Lontar,
secara umum, menawarkan hal-hal praktis, sampai filosofis spekulatif. Populasinya
tersebar di seluruh Bali, tersimpan di rumah-rumah penduduk seperti Geria,
Puri, Jero dan perseorangan.
Koleksi lontar
kurang didukung oleh sarana, prasarana, serta SDM memadai, sesuai kebutuhan
pelestarian lontar. Lontar masih disimpan dengan cara tradisional, yang mengakibatkan
mudahnya terjadi pelapukan dan kerusakan. Ruang penyimpanan yang tidak memenuhi
standar, dan belum lengkapnya katalog, tak hanya dialami Perpustakaan Lontar Gedong
Kirtya. Pun pada Pusat Dokumentasi Provinsi Bali. Di pameran itu saya tahu.
Bali tengah
berupaya melakukan penyelamatan karya-karya sastra dan budaya dalam lontar
melalui proses digitalisasi. Ide digitalisasi muncul sejak Januari 2011. Dengan
kemudahan yang ditawarkan itu, masyarakat akan lebih dekat dengan sejarah dan
babad. Jelas.
Pameran
Lontar Usada ini dimaksudkan untuk membangun kembali keluhuran, kejayaan
intelektualitas para leluhur yang diwariskan pada kita yang faktanya makin
dilupakan. Lontar adalah satu-satunya manuskrip tua yang ada di muka bumi ini,
yang paling lengkap membahas tidak hanya usada atau pengobatan, tapi juga
kehidupan termasuk tata pemerintahan, dan itu diakui dunia.
Dan
generasi muda sudah melakukan dua hal, yaitu melupakannya dan menganggap lontar
bukan apa-apa.
Bagaimana
Lontar Dilestarikan dengan Dana Swadaya?
Kegiatan konservasi
dan preservasi tak hanya pembersihan fisik lontar, juga termasuk reparasi,
restorasi, penataan, dan penyimpanan. Selain konservasi dan preservasi, langkah
lanjutan yang penting dilakukan adalah mentransliterasi (menyalin dari satu
jenis huruf ke jenis huruf yang lain, misalnya dari huruf Bali ke huruf Latin)
dan menerjemahkannya. Drs. Dewa Made Darmawan, M.Si, Dosen Institut Seni
Indonesia (ISI) Denpasar, aktivis pelestari lontar, menerangkan pada saya
tentang hal itu.
Jika konservasi
dan preservasi dilakukan untuk melestarikan lontar sebagai bentuk warisan
budaya karena faktor historis dan isinya, maka transliterasi dan terjemahan
dilakukan untuk menyediakan bahan awal guna menyebarluaskan lontar pada
masyarakat yang tidak (lagi) mengenal bahasa maupun Aksara Bali, tapi ingin
memahami lebih mendalam isi lontar.
Lontar
tidak awet dibandingkan prasasti batu atau lempengan kuningan. Ujung-ujungnya
berumbai, uratnya meretak dimakan serangga, sehingga lekas rapuh. Maka
berjasalah minyak kemiri, minyak sereh, dan alkohol.
Campuran
alkohol dan minyak sereh dengan konsentrasi tertentu mampu membersihkan kotoran
dan mencegah ketegangan (renyah) sehingga lontar kembali lentur dan tidak mudah
patah. Serangga (rayap maupun ngengat), juga terusir dengan campuran ini.
Sedangkan lontar yang aksaranya mulai kurang jelas dapat dihitamkan. Bahan terbaik
untuk menghitamkan adalah dengan hasil bakaran buah kemiri.
Butuh biaya
US$ 350 atau setara Rp 3 juta lebih hanya untuk pengadaan tiga bahan utama di
atas, per bulan. “Biaya tersebut kami upayakan secara swadaya. Siapa yang
peduli pada lontar, ya menyumbang. Pemerintah belum memberi bantuan dana,” kata
pria kelahiran tahun 1959 ini.
Dalam waktu
18 bulan, 8 awak berhasil mendigitalisasi 2.916 takep atau 146.360 lembar
lontar. Mereka berjenis Babad, Geguritan, Kalpasastra, Kanda, Kekawin, Kidung,
Mantra Astawa, niti Sastra, Pala Kertha, Parwa, Satua, Sesana, Tantri, Tutur,
Usada dan Wariga.
Idealnya,
konservasi fisik lontar dilakukan setiap 6 bulan sekali. Kerap dilaksanakan
pada seputar Piodalan Saraswati yang diyakini Umat Hindu sebagai manifestasi
Tuhan dalam fungsinya sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan.
Darmawan miris,
lontar kurang mendapat penghargaan yang layak. Kameranya sempat membidik bak sampah yang diletakkan tepat di
depan penunjuk arah lokasi pameran. “Ini salah satu bukti bahwa tidak ada
penghargaan untuk lontar,” tegasnya.
Siapa
Tuan Rumah Lontar?
Masih dalam
kurun PKB, sebuah diskusi digitalisasi lontar mengungkap fakta Museum Leiden,
Belanda, yang menyimpan ribuan pustaka dan pusaka milik Bali. Tak terkecuali,
lontar.
Seorang
antropolog, ahli Sastra Bali dan Jawa Kuno, Sugi Lanus, mengatakan masyarakat
tak boleh berpikir negatif atas eksistensi Museum Leiden. “Koleksi lontar di Leiden
cukup banyak. Ada yang memang asli dibawa saat pemerintahan kolonial Belanda
dan yang disalin dari masyarakat Bali untuk disimpan di museum tersebut,” ujar
periset ini.
Namun, dengan
disepakatinya kerjasama antara Pemprov Bali dengan Museum Leiden untuk
menelusuri manuskrip kuno, jelas membuka akses untuk mendapatkan koleksi lontar
yang dibawa saat jaman penjajahan tersebut. “Sebenarnya, Leiden sangat terbuka
bagi masyarakat. Contohnya, saya sendiri berhasil mengopi lebih dari 300 judul
lontar di sana,” tambahnya.
Dalam
sebuah perang, manusia melawan manusia, pengetahuan melawan pengetahuan, dan
senjata melawan senjata. Sejarah mencatat, Belanda menang. Pustaka dan pusaka Bali
dirampas, kewenangan mengatur rakyat diambil alih. Tapi ada sesuatu yang tak
berhasil dirampas Belanda, yaitu jiwa yang membuat pustaka dan pusaka itu ada.
Jiwa abstrak berwujud semangat itu ternyata tidak mati oleh perang. Setelah
perang berlalu, pustaka dan pusaka itu diadakan kembali. Namun, berhasilkah
kita menjaganya?
Digitalisasi
Lontar
Bersama
Darmawan, Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Dr. I Nyoman
Catra, S.ST, MA, menggagas digitalisi lontar di Bali. Menurut Catra, masih
banyak lontar Aksara Bali yang tercecer dan tak terawat. “Dengan digitalisasi, lontar-lontar
beraksara Bali sudah bisa diterjemahkan, sehingga bisa dibaca kembali dan
dimengerti oleh siapa saja,” ungkap Catra. Proses digitalisasi ini dialihaksarakan
ke dalam tiga bahasa yaitu Kawi, Indonesia dan Inggris.
Saat
pameran, alat untuk digitalisasi lontar yang semula ditempatkan di Dinas Kebudayaan
Bali, dipindahkan sementara ke Gedung Lontar Art Center selama PKB berlangsung.
Saat itu, lontar kuno Anda bisa mendapatkan perawatan. Gratis. Setelahnya,
silahkan simpan kembali.
Prof. Ron
Jenkins dari Wesleyan university, yang sempat hadir dalam diskusi, menjelaskan
bahwa seluruh Lontar Bali yang berhasil didigitalisasi dan disimpan dalam
archive.org, perpustakaan online yang bisa diakses dunia, berjumlah 2.769
takep. “Dengan digitalisasi lontar ini, para mahasiswa dari banyak universitas
di dunia dapat mengenal lontar. Mereka tidak hanya mengetahui fisiknya, namun
juga isinya, karena ada banyak lontar yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Inggris,” aku Jenkins.
Selanjutnya,
para aktivis lontar ini akan mencari rumusan kerjasama lainnya dengan pihak
archive.org terkait pelestarian Lontar Bali.
Sungguhkah
lontar milik kita?