Jumat, 17 Agustus 2012

Hadiah Ultah Indonesia: Utopia

Indonesia Raya  merdeka merdeka
Tanahku negeriku yang kucinta
Indonesia Raya merdeka merdeka
Hiduplah Indonesia Raya 

PNS upacara. Murid, guru, upacara. 17 Agustus 2012. Seperti tahun sebelumnya. L’Esprit de Corps. Jiwa korsa. Adalah pengembangan kesadaran dan rasa persatuan. Upacara bendera adalah warisan pendahulu bangsa ini untuk sebuah realisasi spirit tersebut. Tapi perlu waspada, dalam jiwa korsa kerap tumbuh bibit chauvinisme; kecintaan atau solidaritas yang tidak proporsional. Maka kadang, upacara sebagai tertib sosial, begitu imperatif alias memaksa, sebagai konsekuensi seseorang memasuki suatu kelompok sosial (instansi, lembaga atau organisasi). Dan 17 Agustus adalah momen suci untuk “pemaksaan” itu.


Bali. Lapangan Puputan Margarana, Renon. Pagi. Para paskibra bersiap serempak langkah menuju tiang bendera. Semangat holistisisme nasionalis para pebaris serempak juga mekar. Saya sempat berada jauh di bibir lapangan. Tak lama, saya meringsut masuk Unit V Gedung Pemprov Bali. Press room.

Saya frustrasi pada bangsa ini. Video Asusila Bikin Heboh Buleleng. Berita itu saya baca di beritadewata.com, dua hari menjelang Indonesia ultah. Jaksa Agung Gagal Berantas Korupsi dimuat Fajar Bali sehari sebelumnya, disusul Nusa Bali yang menulis Desa Pempatan Krisis Air.    

Survey Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa (PDSKJ) teranyar menyebut, 94% masyarakat Indonesia mengidap depresi, mulai tingkat ringan hingga paling berat. Artinya, 94% masyarakat cenderung tidak produktif, dalam fungsi kerja dan sosialnya. 6% sisanya. Cuma 6%. Tanpa perlu usaha, membayangkan pun sulit bahwa yang 94% itu bisa tertolong oleh si 6%. Indonesia.

Tapi apa data ini valid? Sebab akurasi data di negara kita, bukanlah ihwal mudah. OK, anggap saja valid. Saya jadi risau dengan “jiwa” Indonesia kalau begini. Makin jompo makin mentah. Indonesia butuh ruwatan. Begitu menurut saya. Ruwat, sikap simbolik seremonial untuk buang sial.

Al Gore menakjubkan. Saat Obama dan Hillary maju jadi kandidat presiden AS, ia maju dengan pernyataan dirinya yang tidak akan maju jadi pesaing mereka. Namun Al Gore meraih Piala Oscar 2007 untuk film dokumentasinya “An Inconvenient Truth”. Film itu memvisualisasikan kengerian efek pemanasan global; tenggelamnya dunia. Al Gore berhasil menampar manusia, predator superbuas di jagad ini. Ia berbuat, bersikap, untuk eksistensi makhluk hidup, bukan hanya negaranya. Dan belum ada Al Gore di Indonesia. Baik. Kalau tidak ada yang menampar kita, mari tampar diri sendiri, daripada berpikir absurd atau proyektif. 
    
Jangan berani-berani mencalonkan diri jadi Presiden RI, Gubernur Bali atau bupati/walikota  kalau tidak punya konsep konkret menyelamatkan kewarasan masyarakat, kelangsungan hidup lingkungan, dan kekuatan mengatasi kekacauan multifaktoral lainnya!     

Saya duduk. Di press room. Sendiri. Diam. Saya upacara dengan cara saya. Tak lama, tak lebih dari 7 menit. Khusuk, serupa meditasi. Selesai. Tangan saya mengambil buku di dalam tas. Indonesia Dikhianati, judulnya. Saya lanjut membaca.

…..Hiduplah Indonesia Raya.
Perlahan saya dengar lagu itu sebagai elegi untuk sebuah hari jadi.