Surat Luka
IBUKU kerap mengawasi bangunan indah yang tak
terlalu jauh dari rumah kami. Nanar. Bangunan megah itu terlihat jelas. Hanya
dibatasi oleh tanah setengah hektar tak berpenduduk yang ditumbuhi banyak pohon
besar. Ada
jati, beringin, akasia, juga alpukat. Disana, aku senang bermain hingga larut
malam, sendiri. Aku tak akan pulang sampai ibu berteriak memanggilku dan melebamkan
pahaku dengan cubitannya karena tak kenal waktu, lupa mandi dan belajar. Hal
itu berulang nyaris setiap hari, hingga usiaku 12 tahun dan aku harus
melanjutkan sekolah ke kota
dimana kakak pertama ibuku tinggal.
* * * *
Ketika aku meninggalkanmu dalam peluh dan sesak,
masih tersisakah energimu untuk mendongak dan tegak? Separah apa tusukan belati
berkarat itu? Sedalam apa jejak yang kupahat di kalbumu? Dan Masihkah berdarah?
Terlalu gagah diriku untuk berpijak pada tanah. Kini aku berkuasa atas hidupku.
Juga hidupmu.
Segara
Tulisan itu kubaca saat usiaku menjelang 12 tahun,
sehari sebelum aku berangkat ke kota, melanjutkan sekolah. Surat usang 15 tahun lalu yang aku tahu
pengirimnya laki-laki bernama Segara. Surat
yang ditujukan untuk Sundari, ibuku. Beranjak 21 tahun, baru aku mengerti siapa
Segara dari cerita ibu. Segara, laki-laki yang dicintai ibu namun menyakitinya.
Menghempas ibu demi perempuan lain yang jauh lebih kaya dan populer, mantan
kekasihnya yang seorang artis. Segara menoreh luka di hati ibu. Dan aku tahu
seperti apa sakitnya. Tak lama setelah Segara mengirim surat itu, ibu mendengar kabar ia menikahi
mantan kekasihnya yang kaya raya. Berselang sebulan kemudian, ibu menikah
dengan ayah, petani miskin namun gigih. Aku tahu ibu tidak mencintai ayah. Semua
diputuskannya begitu cepat setelah cinta ibu pada Segara tenggelam silam. Pelariankah
itu? Ayah tak pernah mau peduli. Inikah sejatinya cinta? Cinta yang hanya kenal
memberi, tanpa meminta. Ayah hanya ingin memberi kebahagiaan untuk ibu. Tak
pernah ia menuntut, bahkan mengeluh agar ibu memberi hal yang sama pada ayah. Hingga
aku tersedak haru.
Pada tanggal yang sama, tepat setahun sebelum
kelahiranku, putra pertama Segara lahir. Belakangan ibu tahu bahwa putra Segara
itu adalah anak tunggal. Aku juga anak tunggal. Dan aku masih bisa merasakan
sakit ibu. Selalu. Entah kenapa. Mungkin karena sejarah itu terekam tajam di cerebral cortex-ku. Bergejolak sedasyat
soliton.
* * * *
* * * *
Ingatlah malam itu. Saat bulan masih sepertiga dari separuh, masih sangat tipis dan terlampau pasi. Saat Malamku tak begitu penuh halimun. Demikian jugakah malammu? Pekat ia, meski tak terlampau beku. Sepertinya nyaris hujan. Kutunggu 25 menit, ternyata gerimispun tidak. Hujan tak jadi membasahi semesta. Hingga subuh, hingga pagi, hingga siang terik. Dan menjelang senja, ia baru turun, saat kubuka sampul
Sudah
kukatakan aku mencintaimu. Selalu menunggumu. Aku ingin wujudmu ada disini. Aku
ingin menyentuh jasadmu, membelai jiwamu. Hadirlah meski sejenak. Sapalah aku
dengan hanya tatapan matamu. Beritahu aku bahwa kau ada. Benar-benar ada. Bernyawa,
juga berjiwa.
Tulismu
di kertas agak kumal berwarna biru sangat muda dengan huruf cetak tegak, jelas
dan tebal. Kita memang tak pernah bertemu. Sekalipun. Aku bahkan tak tahu
apakah kau berwajah atau tidak. Tapi kita adalah dua makhluk siam , meski
dari rahim berbeda. Aku menghirup apa yang kau hirup. Ketika kau pikir aku tak
boleh bertahan serupa bayangan, maka surat
itu kau kirim. Lalu sampai padaku. Dan inilah balasanku.
Aku tak bisa
menemuimu sampai batas waktu tak tentu. Mengertilah! Jika kita bertemu, peluru
itu akan menembus otakmu. Aku tak mau kau terluka. Tidakkah cukup bagimu
keberadaan kita yang seperti ini? Kenanglah aku, selalulah mencintaiku. Tapi jangan
pernah menemuiku. Kumohon. Sebab kita telah ditetapkan menjadi budak takdir. Dan
jangan mencoba menantangnya.
Akan
kukirim surat
ini besok pagi.
Sembilan
hari tanpa ada balasan lagi darimu. Tahukah kau, wahai lelaki? Di sini aku
menunggu. Bila tak sempat menulis, kirimkan saja kertas kosong padaku, sebab
penanda begitu berarti bagiku. Masih berdegupkah jantungmu?
Kau
tahu, begitupun aku, tentang seseorang yang selalu mengawasimu, seseorang yang
akan merampas nyawamu jika kau menemui aku, seseorang yang berada di belakang
langkah-langkahku, seseorang yang akan menjebakmu melalui aku. Dan aku tak
pernah ingin itu terjadi. Percayalah sayang! Aku tak ingin membuyarkan kotak
pandora cinta kita.
Hari
kesepuluh, datanglah yang kutunggu. Surat
yang kau tulis dengan huruf yang tak begitu rapi. Se tak rapi detak jantungmu,
bukan ? Kau terburu-buru menulis rupanya. Ada
apa denganmu? Apa yang mendesakmu untuk menulis sekacau ini?
Temui aku di pohon
itu, pukul delapan malam ini.
Degupku
nyaris hilang. Kau antar nyawamu untuk siapa? untukku? Jika benar kau tak
berwajah, setidaknya kau mempunyai otak.
* * * *
Lama
aku berdiri di pohon tempat kita biasa bertukar surat. Pohon besar yang
kulitnya luka dan menganga. Di pohon itu kita selipkan surat . Pohon yang berada tepat di
tengah-tengah antara rumahku dan rumahmu, yang seakan menjadi batas pemisah
wilayah kita. Pohon di tanah yang sepi tak berpenghuni. Pohon tempat pertama surat kuselipkan. Surat yang awalnya berisi
pinta entah pada siapa.
Aku mencari hati
yang utuh, relung yang tulus, jiwa yang perkasa. Yang menginginkanku
dihidupnya. Hanya aku. Yang membawaku jauh dari seluruh sakit, segenap pilu. Yang menangkapku saat aku nyaris jatuh dan
luluh. Yang dengan baranya takjub menungguku. Hingga larut. Hingga waktu serupa
batu.
Kuselipkan
di sela luka kulit pohon yang menganga, suatu malam. Dini hari kembali aku ke
pohon itu. Surat
itu hilang. Sudah tak ada lagi. Akupun menunggu. Dua subuh berlalu setelah aku
berdiri lagi di depan pohon itu. Kutemukan surat bersampul putih kumal.
Jika itu harapmu,
aku akan menjadi yang kauinginkan. Ijinkan aku.
Dari
situ, ratusan suratmu kukumpulkan. Dari situ, kita berjanji untuk saling
mencintai. Dan kelak akan bercinta. Usiaku 21 tahun saat itu. Sampai kutemukan sebuah
surat yang
bukan tulisan tanganmu. Surat
dengan tulisan yang begitu kukenal, berisi peringatan nan gahar.
Kalian mengantar
sebuah nyawa padaku jika kalian benar-benar bertemu.
Ancaman
dari siapa ini? Ternyata kau menerima surat
yang sama. Gentarkah kau? Akan kita akhiri dengan apa kisah ini kekasihku?
Kibarkan perang? Atau.... Segera hentikan langkahmu melanjutkan impian kita,
sayang.
* * * *
Dan
ketika gerimis reda suatu malam, pukul delapan, angin agak keras berhembus, di
pohon yang kulitnya luka menganga, di pohon tempat kita selipkan surat, di
ordinat yang kau tetapkan, kitapun bertemu. Kau muncul dari balik pohon akasia
tepat di belakang pohon yang kulitnya luka menganga, di depanku. Kita
bersitatap. Tatap yang mantap. Dalam dan berbicara. Amboi, ada kelegaan sesaat di
rongga dadaku ketika tahu kau berwajah. Aku tahu kau bersungguh-sungguh. Aku
tahu kau mencintaiku, kau menginginkanku di hidupmu, kau akan membawaku berlari
jauh meninggalkan rumahku, kau akan meretas sakitku, dan kau akan selalu
bersamaku, hingga ajalmu tiba. Matamu begitu teduh, seperti telaga. Ijinkan aku
menyelam sejenak di sana ,
mencicipi kesegaran yang hening bening.
Tiba-tiba
aku gemetar, mendadak tubuhku menggigil. Peluru itu lesat menembus kepala
kirimu. Kau tersungkur. Secepat inikah? Aku kelu. Pelipismu nyaris hancur.
Mengucur darah dari sana .
Deras. Kau masih menatapku. Tapi tatap
yang nyaris kosong. Aku tahu kau tak kuat lagi. Aku tahu napasmu akan usai
sebentar lagi. Aku tahu kau ingin katakan sesuatu. Kutunggu itu, kekasih.
“Selalulah bersamaku,” bisikmu lirih. Masih tersisakah napasmu? Aku kelu. Masih
kelu, saat jasadmu semakin beku.
* * * *
Aku senang mengingat ini. Mengingat saat pertama
relungmu terperosok dalam rasa yang kita sebut cinta. Aku menemukanmu terkulai
meski tak layu. Jebakan yang manis bagiku dan kau. Yang kita sambut dalam ribuan
dimensi kenikmatan. Penyatuan yang sempurna, ujarmu. Untuk itu kuhadiahi
tarian. Kubawakan dengan liukan paling liar dan bernafsu. Bernafsu melahap utuh
hatimu, hingga tak bersisa. Tak kusisakan tenaga. Tak kuperjuangkan napas. Agar
kekal diamku. Agar tak teringat lagi sakit, agar tak lagi perih. Dalam napasmu
yang tersengal, kudengar kau berbisik, “Jangan diam. Teruslah menari. Teruslah
liar. Teruslah bernafsu.” Saat kau pikir detik terakhirmu nyaris sirna tergerogoti
masa, kaupun meminta, “selalulah bersamaku.”
Belasan
kali aku memimpikan hal itu. sejak pertama kali kita bertukar surat . Apa arti bunga tidur ini? Inikah
hadiah terindah bagi ibuku yang telah mati terhisap galau jiwanya yang tersayat?
Perempuan bernama Sundari yang telah gagal mengarungi samudera cintanya bersama
Segara.
* * * *
Aliran
darah di pelipis kirimu seakan tak ingin berhenti, selayak rindu yang mendendam.
Pipi kirimu penuh darah setengah kering sampai ke sedikit bagian bibirmu. Anyir
yang ada. Ingin kucium bibir yang amis darah itu. Ingin kucicipi lalu kuseka
dengan ludahku. Kemudian kubaringkan kau
di tanah sepi beralas daun-daun kering. Dan kutemani. Sampai kau membuka mata.
* * * *
Kutulis kisah ini menjelang subuh. Dan kuselipkan
di sela luka kulit pohon yang menganga. Ketika ayah berziarah ke makam ibu dan
tak pernah lagi kembali.
*
* * * : merupakan penanda lompatan ruang, waktu dan peristiwa. Konstruksi baru bagi pembaca
yang terbiasa dengan peristiwa berstruktur linier dalam cerpen.