Minggu, 15 Juli 2012


Surat Luka


IBUKU kerap mengawasi bangunan indah yang tak terlalu jauh dari rumah kami. Nanar. Bangunan megah itu terlihat jelas. Hanya dibatasi oleh tanah setengah hektar tak berpenduduk yang ditumbuhi banyak pohon besar. Ada jati, beringin, akasia, juga alpukat. Disana, aku senang bermain hingga larut malam, sendiri. Aku tak akan pulang sampai ibu berteriak memanggilku dan melebamkan pahaku dengan cubitannya karena tak kenal waktu, lupa mandi dan belajar. Hal itu berulang nyaris setiap hari, hingga usiaku 12 tahun dan aku harus melanjutkan sekolah ke kota dimana kakak pertama ibuku tinggal.

* * * *


Ketika aku meninggalkanmu dalam peluh dan sesak, masih tersisakah energimu untuk mendongak dan tegak? Separah apa tusukan belati berkarat itu? Sedalam apa jejak yang kupahat di kalbumu? Dan Masihkah berdarah? Terlalu gagah diriku untuk berpijak pada tanah. Kini aku berkuasa atas hidupku. Juga hidupmu.
Segara

Tulisan itu kubaca saat usiaku menjelang 12 tahun, sehari sebelum aku berangkat ke kota, melanjutkan sekolah. Surat usang 15 tahun lalu yang aku tahu pengirimnya laki-laki bernama Segara. Surat yang ditujukan untuk Sundari, ibuku. Beranjak 21 tahun, baru aku mengerti siapa Segara dari cerita ibu. Segara, laki-laki yang dicintai ibu namun menyakitinya. Menghempas ibu demi perempuan lain yang jauh lebih kaya dan populer, mantan kekasihnya yang seorang artis. Segara menoreh luka di hati ibu. Dan aku tahu seperti apa sakitnya. Tak lama setelah Segara mengirim surat itu, ibu mendengar kabar ia menikahi mantan kekasihnya yang kaya raya. Berselang sebulan kemudian, ibu menikah dengan ayah, petani miskin namun gigih. Aku tahu ibu tidak mencintai ayah. Semua diputuskannya begitu cepat setelah cinta ibu pada Segara tenggelam silam. Pelariankah itu? Ayah tak pernah mau peduli. Inikah sejatinya cinta? Cinta yang hanya kenal memberi, tanpa meminta. Ayah hanya ingin memberi kebahagiaan untuk ibu. Tak pernah ia menuntut, bahkan mengeluh agar ibu memberi hal yang sama pada ayah. Hingga aku tersedak haru.

Pada tanggal yang sama, tepat setahun sebelum kelahiranku, putra pertama Segara lahir. Belakangan ibu tahu bahwa putra Segara itu adalah anak tunggal. Aku juga anak tunggal. Dan aku masih bisa merasakan sakit ibu. Selalu. Entah kenapa. Mungkin karena sejarah itu terekam tajam di cerebral cortex-ku. Bergejolak sedasyat soliton.

* * * *


Ingatlah malam itu. Saat bulan masih sepertiga dari separuh, masih sangat tipis dan terlampau pasi. Saat Malamku tak begitu penuh halimun. Demikian jugakah malammu? Pekat ia, meski tak terlampau beku. Sepertinya nyaris hujan. Kutunggu 25 menit, ternyata gerimispun tidak. Hujan tak jadi membasahi semesta. Hingga subuh, hingga pagi, hingga siang terik. Dan menjelang senja, ia baru turun, saat kubuka sampul surat yang sedikit kumal.

Sudah kukatakan aku mencintaimu. Selalu menunggumu. Aku ingin wujudmu ada disini. Aku ingin menyentuh jasadmu, membelai jiwamu. Hadirlah meski sejenak. Sapalah aku dengan hanya tatapan matamu. Beritahu aku bahwa kau ada. Benar-benar ada. Bernyawa, juga berjiwa.

Tulismu di kertas agak kumal berwarna biru sangat muda dengan huruf cetak tegak, jelas dan tebal. Kita memang tak pernah bertemu. Sekalipun. Aku bahkan tak tahu apakah kau berwajah atau tidak. Tapi kita adalah dua makhluk siam, meski dari rahim berbeda. Aku menghirup apa yang kau hirup. Ketika kau pikir aku tak boleh bertahan serupa bayangan, maka surat itu kau kirim. Lalu sampai padaku. Dan inilah balasanku.

Aku tak bisa menemuimu sampai batas waktu tak tentu. Mengertilah! Jika kita bertemu, peluru itu akan menembus otakmu. Aku tak mau kau terluka. Tidakkah cukup bagimu keberadaan kita yang seperti ini? Kenanglah aku, selalulah mencintaiku. Tapi jangan pernah menemuiku. Kumohon. Sebab kita telah ditetapkan menjadi budak takdir. Dan jangan mencoba menantangnya.

Akan kukirim surat ini besok pagi.

Sembilan hari tanpa ada balasan lagi darimu. Tahukah kau, wahai lelaki? Di sini aku menunggu. Bila tak sempat menulis, kirimkan saja kertas kosong padaku, sebab penanda begitu berarti bagiku. Masih berdegupkah jantungmu?

Kau tahu, begitupun aku, tentang seseorang yang selalu mengawasimu, seseorang yang akan merampas nyawamu jika kau menemui aku, seseorang yang berada di belakang langkah-langkahku, seseorang yang akan menjebakmu melalui aku. Dan aku tak pernah ingin itu terjadi. Percayalah sayang! Aku tak ingin membuyarkan kotak pandora cinta kita.

Hari kesepuluh, datanglah yang kutunggu. Surat yang kau tulis dengan huruf yang tak begitu rapi. Se tak rapi detak jantungmu, bukan ? Kau terburu-buru menulis rupanya. Ada apa denganmu? Apa yang mendesakmu untuk menulis sekacau ini?

Temui aku di pohon itu, pukul delapan malam ini.

Degupku nyaris hilang. Kau antar nyawamu untuk siapa? untukku? Jika benar kau tak berwajah, setidaknya kau mempunyai otak.

* * * *

Lama aku berdiri di pohon tempat kita biasa bertukar surat. Pohon besar yang kulitnya luka dan menganga. Di pohon itu kita selipkan surat. Pohon yang berada tepat di tengah-tengah antara rumahku dan rumahmu, yang seakan menjadi batas pemisah wilayah kita. Pohon di tanah yang sepi tak berpenghuni. Pohon tempat pertama surat kuselipkan. Surat yang awalnya berisi pinta entah pada siapa.

Aku mencari hati yang utuh, relung yang tulus, jiwa yang perkasa. Yang menginginkanku dihidupnya. Hanya aku. Yang membawaku jauh dari seluruh  sakit, segenap pilu.  Yang menangkapku saat aku nyaris jatuh dan luluh. Yang dengan baranya takjub menungguku. Hingga larut. Hingga waktu serupa batu.

Kuselipkan di sela luka kulit pohon yang menganga, suatu malam. Dini hari kembali aku ke pohon itu. Surat itu hilang. Sudah tak ada lagi. Akupun menunggu. Dua subuh berlalu setelah aku berdiri lagi di depan pohon itu. Kutemukan surat bersampul putih kumal.

Jika itu harapmu, aku akan menjadi yang kauinginkan. Ijinkan aku.

Dari situ, ratusan suratmu kukumpulkan. Dari situ, kita berjanji untuk saling mencintai. Dan kelak akan bercinta. Usiaku 21 tahun saat itu. Sampai kutemukan sebuah surat yang bukan tulisan tanganmu. Surat dengan tulisan yang begitu kukenal, berisi peringatan nan gahar.

Kalian mengantar sebuah nyawa padaku jika kalian benar-benar bertemu.

Ancaman dari siapa ini? Ternyata kau menerima surat yang sama. Gentarkah kau? Akan kita akhiri dengan apa kisah ini kekasihku? Kibarkan perang? Atau.... Segera hentikan langkahmu melanjutkan impian kita, sayang.

* * * *

Dan ketika gerimis reda suatu malam, pukul delapan, angin agak keras berhembus, di pohon yang kulitnya luka menganga, di pohon tempat kita selipkan surat, di ordinat yang kau tetapkan, kitapun bertemu. Kau muncul dari balik pohon akasia tepat di belakang pohon yang kulitnya luka menganga, di depanku. Kita bersitatap. Tatap yang mantap. Dalam dan berbicara. Amboi, ada kelegaan sesaat di rongga dadaku ketika tahu kau berwajah. Aku tahu kau bersungguh-sungguh. Aku tahu kau mencintaiku, kau menginginkanku di hidupmu, kau akan membawaku berlari jauh meninggalkan rumahku, kau akan meretas sakitku, dan kau akan selalu bersamaku, hingga ajalmu tiba. Matamu begitu teduh, seperti telaga. Ijinkan aku menyelam sejenak di sana, mencicipi kesegaran yang hening bening.

Tiba-tiba aku gemetar, mendadak tubuhku menggigil. Peluru itu lesat menembus kepala kirimu. Kau tersungkur. Secepat inikah? Aku kelu. Pelipismu nyaris hancur. Mengucur darah dari sana. Deras.  Kau masih menatapku. Tapi tatap yang nyaris kosong. Aku tahu kau tak kuat lagi. Aku tahu napasmu akan usai sebentar lagi. Aku tahu kau ingin katakan sesuatu. Kutunggu itu, kekasih. “Selalulah bersamaku,” bisikmu lirih. Masih tersisakah napasmu? Aku kelu. Masih kelu, saat jasadmu semakin beku. 

* * * *

Aku senang mengingat ini. Mengingat saat pertama relungmu terperosok dalam rasa yang kita sebut cinta. Aku menemukanmu terkulai meski tak layu. Jebakan yang manis bagiku dan kau. Yang kita sambut dalam ribuan dimensi kenikmatan. Penyatuan yang sempurna, ujarmu. Untuk itu kuhadiahi tarian. Kubawakan dengan liukan paling liar dan bernafsu. Bernafsu melahap utuh hatimu, hingga tak bersisa. Tak kusisakan tenaga. Tak kuperjuangkan napas. Agar kekal diamku. Agar tak teringat lagi sakit, agar tak lagi perih. Dalam napasmu yang tersengal, kudengar kau berbisik, “Jangan diam. Teruslah menari. Teruslah liar. Teruslah bernafsu.” Saat kau pikir detik terakhirmu nyaris sirna tergerogoti masa, kaupun meminta, “selalulah bersamaku.”

Belasan kali aku memimpikan hal itu. sejak pertama kali kita bertukar surat. Apa arti bunga tidur ini? Inikah hadiah terindah bagi ibuku yang telah mati terhisap galau jiwanya yang tersayat? Perempuan bernama Sundari yang telah gagal mengarungi samudera cintanya bersama Segara.

* * * *

Aliran darah di pelipis kirimu seakan tak ingin berhenti, selayak rindu yang mendendam. Pipi kirimu penuh darah setengah kering sampai ke sedikit bagian bibirmu. Anyir yang ada. Ingin kucium bibir yang amis darah itu. Ingin kucicipi lalu kuseka dengan ludahku.  Kemudian kubaringkan kau di tanah sepi beralas daun-daun kering. Dan kutemani. Sampai kau membuka mata.

* * * *

Kutulis kisah ini menjelang subuh. Dan kuselipkan di sela luka kulit pohon yang menganga. Ketika ayah berziarah ke makam ibu dan tak pernah lagi kembali.




* * * * : merupakan penanda lompatan ruang, waktu  dan peristiwa. Konstruksi baru bagi pembaca yang terbiasa dengan peristiwa berstruktur linier dalam cerpen.