Paradigma Tipu
SEBAGAI satu
kajian ilmu, korupsi, manipulasi, dan sekian derivatnya, masih menjadi
kontroversi. Sebagai perkara moral dan ideologis, dengan dua pertanyaan ini,
korupsi-manipulasi member kita ambiguitas, paradoks yang membuat gamang.
Pertama, atas pertanyaan: kekuasaan apa yang
disalahgunakan dan siapa pemilik kekuasaan itu? Jika jawabannya adalah koruptor
yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, sebagaimana korupsi
dipahami per definisi, maka lingkaran setanlah yang terjadi. Inilah dunia yang
mesti diterima.
Pertanyaan kedua: apa yang member alasan gerakan
anti korupsi dapat berhasil? Jika ternyata gerangan itu memiliki pengandaian,
adanya ideal dimana setiap manusia hidup dalam rules dan laws yang berlaku.
Tapi dunia dan kenyataannya segera menolak ideal tersebut. Karena bias,
deviasi, pelanggaran, ternyata sudah menjadi fitrah manusia. Dan, bagaimana
hidup bisa berbuat adil pada tiap manusia jika tatanannya sendiri sudah
memapankan ketidakadilan?
Maka dengan ini, terasa betapa naif, sesungguhnya
memuakkan, standar-standar global (oksidental, maksudnya) yang bermain dalam
logika -dan paradigma yang menyertainya- pemberantasan dan pemaknaan korupsi.
Sesungguhnya itu sebuah tipu. Tipuan halus, cerdas,
bahkan kultural, yang mengusik perhatian dan kesadaran kita pada realitas
(opresif), inhuman, kapitalistik, dan
sebagainya. Dan praktek ini menyebar, meluas, meruang. Tipuan yang bisa
berwujud manipulasi realitas/fakta ini juga korupsi. Termasuk ajakan bahkan
tekanan pada publik untuk mengikuti logika elite, logika parlemen dan kabinet,
juga ajakan “bersabar”.
Sebuah ajakan yang berbeda, yaitu untuk membongkar
dunia tipu yang menjejal dan terinternalisasi dalam diri sejak dini. Saya turut
ajakan. Anda?