Sabtu, 30 Juni 2012


D u n i a

DUNIA ini : raksasa energi, tanpa awal, tanpa akhir, sebuah besaran daya yang kukuh, yang tidak membesar atau mengecil, yang tidak memperluas dirinya sendiri melainkan hanya mengubah dirinya sendiri. Secara keseluruhan, sebuah ukuran yang tak berubah, sebuah rumah tangga tanpa pengeluaran atau kerugian, namun juga tanpa peningkatan atau penghasilan. Terlingkupi oleh ketiadaan sebagai batasnya, bukan sesuatu yang kabur atau sia-sia, bukan sesuatu yang meluas tanpa batas, namun terletak dalam luas yang tetap sebagai suatu daya yang tetap, dan bukan ruang yang mungkin kosong di sana sini. Lebih merupakan suatu daya yang menyeluruh, sebagai permainan daya dan gelombang-gelombang daya, satu sekaligus banyak, meningkat di sini dan sekaligus menyusut di sana.

Sebuah lautan daya yang mengalir dan menyerbu bersama-sama, berubah selamanya, membanjir kembali selamanya, dengan tahun-tahun pengulangan yang sangat besar, dengan pasang dan surut pada bentuk-bentuknya; berasal dari bentuk-bentuk yang paling diam, paling kaku, paling dingin menuju yang paling panas, paling bergelora, paling bertentangan dengan dirinya sendiri, dan kemudian kembali lagi menuju yang sederhana dari kelimpahan ini, dari permainan kontradiksi-kontradiksi kembali pada keriangan yang damai selaras, tetap menegaskan dirinya sendiri dalam keseragaman alur dan tahun-tahunnya, memberkahi dirinya sendiri sebagai sesuatu yang harus berulang secara abadi, sebagai suatu menjadi yang tidak mengenal kepuasan, kemuakan, kelelahan.

Inilah, duniaku yang selamanya menghancurkan dirinya sendiri, dunia misteri dari dua kegembiraan yang menggairahkan, kebaikan dan kejahatan yang aku cintai, tanpa tujuan, kecuali jika lingkaran kegembiraan itu sendiri adalah tujuannya. Tanpa kehendak, kecuali lingkaran yang merasakan kehendak baik terhadap dirinya sendiri. Apa kau menginginkan nama bagi dunia ini?

Membandingkan kerdilnya manusia dengan keluasan alam semesta raya menjadi pengisi waktu luang intelektual yang murah. Namun perbandingan demikian itu keliru. Kita tidak bisa membandingkan eksistensi dengan makna; keduanya sama sekali berbeda. Ciri kehidupan seorang manusia sendiri adalah makna dari eksistensi-eksistensi luas, dan tanpa kehidupan manusia maka eksistensi itu tak punya nilai atau signifikansi. Tidak ada patokan umum bagi eksistensi fisik dan pengalaman sadar karena pengalaman sadar adalah satu-satunya ukuran yang ada bagi eksistensi fisik. Signifikansi dari ada, kendati bukan eksistensinya, adalah emosi yang ditimbulkan, pemikiran yang diciptakan.