Punk, Dua Rupamu*
MALAM Minggu awal Oktober lalu saya melintasi Lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar. Muda-mudi duduk ngobrol di atas jajaran sepeda motor yang jumlahnya ratusan, mengitari lapangan. Tampak bergrup, terlihat dari 2 meter jeda pakir, juga dari seragam dominan hitam mereka. Dari situ saya tahu ada grup bernama Dark Heaven, Son of Hell, Evil Devil, sampai Setan Manis yang isinya perempuan semua. Sebenarnya, event itu ritus anak muda sejak saya duduk di bangku SMP.
Selain seragam hitam plus tulisan ber-font sangar, piercing di lidah, bibir dan alis jadi mode yang mulai bisa diadaptasi mata saya. Maklum, sejak SMA sudah banyak teman saya seperti itu.
Pada jam sekolah asesoris dikarantina, setelah bel pulang baru show off alias keluar kandang. Biarpun swasta, sekolah saya cukup ketat. Itu 9 tahun lalu, dan saya melihat mereka dengan aneh, meski tetap berteman. Sekarang hal itu menjamur, seiring merebaknya bisnis distro yang memenuhi segala kebutuhan mereka. Bedanya, dulu mereka numpuk di pinggir jalan, sekarang mulai masuk mall.
Pada jam sekolah asesoris dikarantina, setelah bel pulang baru show off alias keluar kandang. Biarpun swasta, sekolah saya cukup ketat. Itu 9 tahun lalu, dan saya melihat mereka dengan aneh, meski tetap berteman. Sekarang hal itu menjamur, seiring merebaknya bisnis distro yang memenuhi segala kebutuhan mereka. Bedanya, dulu mereka numpuk di pinggir jalan, sekarang mulai masuk mall.
Heran saya makin menggunung. Saya pikir muda-mudi Bali saja yang seperti itu, karena mereka lebih dulu ketularan trend luar negeri yang dibawa bule. Ternyata ketika saya pulang kampung ke Kalibaru, Banyuwangi, saya melihat Punker Masuk Desa, dengan dandanan sama seperti punker kota . Nyaris tiap malam 3-4 anak muda yang itu-itu saja, lantang berseru di pinggir jalan, “kami punker sejati, calon penghuni neraka.” Lho, masuk neraka kok bangga? Pernah saya membahas ini dengan seorang teman kuliah. Budaya dan jati diri bangsa akan hilang, itu ketakutan saya. “Lho, piercing dan tato itu sebenarnya juga budaya kita. Lihat suku Asmat dan Dayak!” begitu katanya. Lalu dengan cepat saya timpali, “Kalau niat melestarikan budaya, harusnya mereka nggak usah pakai baju donk, harusnya pakai koteka.” Dia diam.
Punk, begitu saya menyebutnya dan mereka pun bangga dengan sebutan itu. Asumsi awal saya terhadap punk identik dengan hal negatif, seperti korban broken home, akrab dengan alkohol, ganja bahkan freesex, tidak produktif, malah membebani. Belakangan berangsur asumsi saya berubah, berkat teman lama saya, punker (sejati) yang satu kos dengan saya beberapa bulan ini. Punk tidak bisa dibakukan, digeneralisasi. Punk ada untuk mendobrak kemapanan, bisa dibilang antisistem, generasi mereka progresif, tidak terhegemoni, tidak mengambil peran pada sistem kapitalisme. Sungguh-sungguh saya perhatikan dia. Hem lusuh, tanpa piercing, tanpa tato (mungkin dia takut jarum), kamarnya rapi meski isinya barang-barang kumal. Hanya sesekali merokok ketika berbincang dengan saya, mungkin untuk meminimalisasi groginya. Teman saya itu pengamen. Dia beragama, kelakuannya santun, kerap membantu warga kurang mampu yang membangun rumah dan senang hanya dengan dibayar sebungkus kretek. Luar biasa.
Dari anak-anak muda itu saya belajar, juga dari teman pengamen saya, mau jadi seperti apa dan bagaimana saya sebagai penerus bangsa. Sebab saya juga masih muda. Dan merdeka. Banyak dari mereka mengidentifikasikan punk melalui jubahnya, ada pula yang melalu pemaknaan mendalam serupa ideologi. Anda?
* Tulisan ini pernah dimuat Harian Surya tahun 2007. Edisinya? Saya lupa :-)