Sabtu, 30 Juni 2012

Beli Merk Bonus Wangi*



“MBAK, paling mahal merk apa? Yang botolnya seperti lampu aladin itu berapa? Yang iklannya ada perempuan terbang itu parfum apa ya?” tanya seorang mbak-mbak pada SPG di gerai parfum sebuah department store di bilangan Denpasar-Bali, Sabtu (27/10). Saya memperhatikan betapa sibuknya mbak-mbak tadi memilih parfum. Yang saya heran, pertanyaannya bak mitraliur, namun tak sekalipun ia bertanya apakah yang ditunjuknya itu eau de toilette, parfume, cologne, atau deodorant, apalagi mencoba tester wewangian tersebut. “Mungkin mbak itu kolektor botol parfum mahal,” demikian isi benak saya, sebab setahu saya, harga termurah jejeran parfum di sana tiga ratus ribuan. Dan bagi saya itu mahal. Kebetulan saat itu saya mengantar ibu membeli mascara di gerai kosmetik, tepat di samping gerai parfum, maka semua terdengar. Dari situ terbit letupan di benak saya. Sebuah pertanyaan.

Saya teringat ayah saya yang penyuka wewangian, tapi nyaris tak pernah membeli parfum mahal (merk luar). Hanya ada satu, itupun hadiah dari saya. Carolina Herrera 212, Men On Ice, yang saya beli karena harganya disunat 70%, 2 tahun lalu. Hanya dipakai jika menghadiri undangan formal. “Eman-eman. Aku seneng ambune, bedo karo sing bapak tuku.” katanya.

Dalam wewangian dilembagakan kesan, citra, mimpi, dan sebagainya. Ekspresi maskulinitas atau femininitas, seperti diniatkan pemakainya. Seru, gejolak persaingan berbagai merk termanifestasi pada kemunculan nama dan kemasan yang dihunjam ke konsumen. Kompleksitas politik iklan produk wewangian pun sekompleks konsumennya sendiri, saat memutuskan jenis dan merk apa yang harus dipilih. Histeria atas merk-merk terkenal, di balik ironi slogan “Aku Cinta Made in Indonesia”, makin merekah atas nama gengsi. Tommy Hilfiger, Christian Dior, Issey Miyake, Kenzo, tak asing bagi mereka yang sadar merk. Wewangian garapan produsen kelas dunia tersebut punya kualitas premium. Wangi tahan lama, juga tanpa noda jika kena pakaian. Top note (wangi pertama yang tercium), heart note (komposisi utama), dan base not-nya (wangi yang hilang setelah beberapa saat) begitu berkarakter. Jelaslah berbanding lurus dengan kualitas kantong.

Lagi-lagi, saya teringat teman saya yang seorang model. Ia memberi tips wangi-hemat. Belilah bibit minyak wangi yang kini banyak beredar. Aromanya sengaja dibuat menyerupai wewangian bermerk. Tambahkan sedikit alkohol jika tak mau tubuh terasa berminyak dan menebar wangi menyengat. Cerdik juga teman saya itu, ia berburu botol parfum mewah, lalu menyuntiknya dengan bibit yang ia beli ketika agencynya mengadakan fashion show di Surabaya. Harganya Rp 1500/ml. Untuk memenuhi sebuah botol berisi 50ml, ia hanya butuh 20ml bibit. Sisanya, ya alkohol.

Sesungguhnya, apa yang ingin kita dapat dari sebotol parfum? Wangi yang mengirim kesan mendalam ke otak dan mengundang keintiman bagi yang mencium, juga pembentuk mood? Atau merk (termasuk kemasan) yang memposisikan atau menentukan di kelas mana kita berada? Citra apa yang hendak anda bangun dari benda itu?   


* Tulisan ini pernah dimuat Harian Surya, Edisi Jumat, 2 Nov 2007