Dan Aku pun Terbang
Akhirnya aku benar-benar bertemu bidadari, perempuan segar yang sungguh cantik, menawan dan gemulai dengan pakaian putih, sopan. Ini adalah pertemuan pertamaku dengan mahluk cantik yang hanya pernah aku tahu dari dongeng masa kecil….
SAAT aku
kecil, jika ibu sedang pergi atau sibuk di dapur, nenekku selalu menghadiahi
dongeng. Nenek tak punya banyak koleksi dongeng sehingga ia sering
mengulang-ulang isi dongengnya. Meski begitu, aku selalu terkesima dan kemudian
tertawa menyimaknya, sebelum akhirnya lelap memeluk.
Hampir semua dongeng nenek bercerita tentang seorang putri rupawan dari khayangan. Seorang bidadari cantik, suka menolong dan menaburkan cinta di muka bumi bagi mereka yang membutuhkan. Aku dulu bocah kecil dengan gigi depan gigis karena terlalu banyak makan permen, masih belum tahu apa itu cinta, selain penjelasan singkat nenek bahwa cinta adalah zat gaib yang tertaburkan ke bumi hingga membuatku ada, lahir, tetap hidup di dunia. Sampai beranjak dewasa penjelasan itu masih kupegang selayak iman. Sebab hingga kini belum kutemukan penjelasan yang lebih memadai tentang makna cinta selain itu.
Hampir semua dongeng nenek bercerita tentang seorang putri rupawan dari khayangan. Seorang bidadari cantik, suka menolong dan menaburkan cinta di muka bumi bagi mereka yang membutuhkan. Aku dulu bocah kecil dengan gigi depan gigis karena terlalu banyak makan permen, masih belum tahu apa itu cinta, selain penjelasan singkat nenek bahwa cinta adalah zat gaib yang tertaburkan ke bumi hingga membuatku ada, lahir, tetap hidup di dunia. Sampai beranjak dewasa penjelasan itu masih kupegang selayak iman. Sebab hingga kini belum kutemukan penjelasan yang lebih memadai tentang makna cinta selain itu.
Kata nenek, bidadari terbuat dari lapisan cahaya
yang bertumpuk berpilin-pilin. Ia biasa datang saat tengah malam purnama,
menyinggahi telaga mati di negeri entah, untuk mandi kembang, lalu menabur
berkah cinta pada mereka yang sedang berdoa. Itulah sebabnya kecilku dulu aku
rajin berdoa tengah malam, saat ayah ibu sedang lelap atau bepergian. Aku
berharap bidadari akan datang membawakan sekeranjang cinta lalu menaburkannya
di atap rumahku, di atas kamar ayah ibuku, agar aku bisa segera punya adik.
Namun hingga saat aku beranjak remaja, bidadari itu tidak jua datang, cinta tak
tertaburkan dan aku tetap anak tunggal.
Tetapi kedatangan bidadari tengah malam purnama ini
bukanlah bagian dongeng nenek, ia benar-benar ada. Aku melihat, bahkan
merasakannya. “Anda siapa?” tanyaku heran saat tiba-tiba teras rumahku berliput
cahaya. Dari pusat cahaya itu keluar sosok perempuan jelita seusiaku. “Aku bidadari
dari khayangan,” perempuan itu tersenyum. “Dari khayangan? Tengah malam begini?
Sendirian?” tanyaku takjub. Aku membayangkan betapa jauhnya jarak antara
khayangan dengan bumi, mungkin jutaan kilometer, atau bahkan jutaan tahun
cahaya. “Ya, sendirian,” jawabnya. Kukira ia hanyalah peri yang akan
menakutiku. Reflek mataku menyelidik kakinya, apakah ia menyentuh tanah. Kata
para tetua kampungku, seorang peri kakinya menggantung tak menyentuh tanah. Dan
ternyata kaki perempuan cantik itu tidak menggantung namun juga tidak menyentuh
tanah. Sebab entah mengapa ia memakai semacam sandal dari kaca. “Ah, anda pasti
bergurau. Mana mungkin ada bidadari sungguhan. Bidadari hanya ada dalam dongeng
nenek,” aku menyangkalnya, bergidik dan belum percaya. “Kamu benar. Di masa
lalu bidadari seperti aku hanya ada dalam dongeng. Namun sejak para manusia
berhasil memecahkan sebagian besar misteri alam, aku tak lagi hanya ada dalam
dongeng.” Perempuan cahaya itu mendekat ke arahku. Seperti tahu apa yang
kupikirkan. Ia lalu mengulurkan tangannya. “Sentuhlah, dan kamu akan tahu kalau
aku benar-benar ada. Aku bukan hanya segumpal cahaya.”
Dengan mengumpulkan keberanian aku mendekatinya,
kuraih sodoran tangan lembut itu. Ya, ia memang bukan terbuat dari cahaya.
Lengannya kenyal dan kulitnya kesat seperti aku, manusia biasa. “Apakah anda
telah dikutuk para dewa?” tanyaku bodoh. Sebab tiba-tiba aku ingat cerita
tentang Nawang Wulan, bidadari ceroboh yang konon dikutuk jadi manusia karena
kehilangan selendangnya yang dicuri Jaka Tarub. Ia hanya tersenyum, mendekati
bangku beranda lalu duduk di sebelahku. “Sama sekali tidak. Aku bukan kutukan
dewa.” “Lalu?” aku masih sulit menyembunyikan ketakjubanku. “Lalu…berhentilah
terkesima. Berhentilah menyapaku dengan anda, toh aku sudah menyapamu dengan
kamu, biar lebih akrab. Bagaimana?” Senyumnya terlontar lagi.
Detak jantungku kian cepat saat duduknya bergeser
mendekat. “Namaku Hening. Hening Kirana. Kamu siapa?” ia mengulurkan lagi
tangannya. Kali ini untuk berjabat. “Oh…, aku Bhia. Bhia Arkasuta. Anak
tunggal,” kugenggam jemari itu. Kurasakan sesuatu yang tak biasa, seperti
berjabat dengan teman lama. Segera kusingkirkan takut dan seganku, sebab aku
merasa ia mulai menawarkan rasa percaya. Kami duduk berdekatan, hanya terhalang
udara setebal 2 cm, jarak yang lebih dari cukup bagiku untuk menghirup aroma
wangi tubuhnya.
Detik-detik seperti berjalan melambat, menggerus
suasana yang sontak berubah akrab. Lubang cacing di otakku segera menerobos
masa kecilku. Aku ingat apa yang pernah dikatakan nenek jika bidadari datang ke
bumi. Cinta, itulah yang selalu dibawanya. “Hening, apakah kamu membawa cinta?”
Tanyaku tiba-tiba. “Cinta? Darimana kamu tahu aku selalu membawa cinta?” kubaca
setitik binar dan kekagetan dari nada itu. “Dari dongeng nenekku, juga dari
gerak bibir dan matamu,” aku meringis, mulai berani menggoda. “Oh…nenekmu
cerita apa?” alisnya mengerut. Kuceritakan padanya dongeng nenek tentang
bidadari yang turun ke bumi untuk mandi bunga di telaga dan menebar cinta, zat
gaib yang konon membuatku lahir dan ada. “Nenekmu pasti seorang yang
bijaksana,” ia memuji. “Lebih tepatnya seorang yang sederhana,” kataku
mengoreksi.
Angin tidak bersiut, demikian juga dengan waktu
yang kurasakan tiba-tiba robek, menciut. Aku ingin rileks, maka kukeluarkan
rokok, kutawarkan padanya. Ia menolak halus. Sementara nyala membakar ujung
tembakau, ia kembali bicara. “Aku membawa banyak cinta malam ini.” Aku hampir
bergembira, berharap ada sebagian untukku. Sudah lama aku ingin memperbaharui
konsep cinta di benakku, semoga dia bisa memberi penjelasan. “Tapi bukan
untukmu,” kalimatnya menggantung, menghempaskan harapku yang terlanjur tumbuh.
“Oh ya, kenapa?” kugeser dudukku agak menjauh, serasa ada yang terbanting di
jantungku. “Sebab kamu tidak memerlukannya lagi. Bahkan kamu berkelebihan cinta
sehingga harus dikurangi.” Aku menggeleng. Ia beringsut mendekat. Makin tajam
kuhirup wangi tubuh itu.
“Kamu berkelebihan cinta. Kakimu tergenangi larutan
cinta yang kental, lekat dan dibuat sulit berjalan karenanya.” Aku tidak
mengerti. “Kamu bukan tidak mengerti, kamu hanya tidak mau mengerti.” Ia tahu
isi kepalaku. “Aku datang justru untuk memotong lilitan pekat di kakimu itu.
Membebaskanmu dari belenggu.” Aku kembali menggeleng “Bidadari, aku makin tidak
mengerti.” Ia tersenyum. “Bhia, ketahuilah, hidupmu terlalu berharga untuk kamu
habiskan di sini, di tempat ini. Sebenarnya kamu bisa terbang kemanapun kamu
mau. Menjadi elang, menjadi orang besar yang mencipta dan merubah sejarah.
Bukankah itu yang selalu kamu pikirkan saat bercermin sendirian?” Aku terkesiap
dengan kata-katanya. Elang, orang besar dan cermin. Tuhan, kenapa ia begitu
tepat membaca kebiasaan-kebiasaan kecil dan isi kepalaku? Kutatap matanya,
kucari kebenaran itu di sana. Ia membalas dengan celoteh yang terus
menderas. “Tapi kamu terus bertahan, tetap tak mau terbang. Demi sesuatu yang
kamu yakini sebagai cinta.” Rentetan kalimat itu memaksaku bereaksi
mendebatnya. “Hei, hei…, tunggu dulu. Cintalah yang telah membuatku ada.”
“Benar, kamu ada karena cinta orang tuamu dan orang-orang terdekatmu selama
ini. Namun kamu terjebak dalam cinta itu. Kamu bermimpi sisa umurmu akan mampu
kau gunakan untuk membalas segala yang telah mereka lakukan padamu. Kamu tahu
bahwa itu tak mungkin, maka kamu memilih kompensasi minimal. Kamu memaksakan
diri.”
Berondongan mitraliur itu makin lama makin lancar
dan menohok. Aku bertahan sambil sesekali menikmati gerak bibirnya yang sedap
dipandang. “Memaksakan diri?” tanyaku. “Ya, kamu terus-menerus merasa
gagal membalas cinta dan kebaikan mereka, dan memang akan terus begitu. Lalu
kamu mengambil jalan pintas. Kamu jadikan kata-kata mereka sebagai kebenaran
atau paling tidak menempatkan pertimbangan mereka sebagai hal utama yang
mengisi otakmu meskipun untuk itu kamu harus rela terjebak dalam lingkaran
balas budi yang tak seimbang,” bidadari itu menghela napas. “Kamu tidak berani
mengambil keputusan radikal dalam banyak hal, sebab kamu khawatir itu akan
membuat orang-orang yang selama ini mencintaimu terluka,” sambungnya. “Terus?” aku
agak terpancing, tapi kukuatkan menunggu ujung ledakan itu. “Akhirnya kamu
membonsai dirimu sendiri. Cintamu pada orang-orang terdekatmu mengkerdilkanmu.”
Vonis sudah ia jatuhkan. Dan aku tak pernah suka dengan vonis. Aku mendengus
gelisah. Terpojok. “Tapi mereka memang berhak ‘kan?” kataku. “Ya, tapi dengan
begitu bukan berarti mereka berhak menjadi penentu jalanmu. Mereka mencintaimu,
menjagamu, karena memang itu kewajiban sejarahnya. Ibumu melahirkanmu karena ia
memang harus melahirkanmu. Ayahmu memberi nama dan membesarkanmu karena memang
itu tugasnya. Tugas mereka adalah membekalimu, hanya membekalimu. Tapi bukan
untuk mengantarmu ke tepi jalan, apalagi menentukan arah padamu. Itu adalah
hakmu, hanya kamu!” Nada itu keras dan meninggi.
Sebelum aku berdiri dengan tersengal, sebuah senyum
menawan terbit, ia melanjutkan. “Bhia, bukan hak mereka untuk menilai apakah
kamu gagal atau berhasil dalam hidupmu sesuai isi kepala mereka. Tiap orang
punya ukuran sendiri bagi hidupnya. Keberhasilan terbesarmu adalah ketika kamu
mampu menjadi dirimu sendiri, apapun adanya itu. Menjadi hakim bagi benar salah
yang kamu lakukan.” Cepat kupangkas ucapannya “Meski untuk itu aku harus
mengecewakan mereka?” Iapun gegas menjawab, “Ya. Sebab sesungguhnya tak ada hak
bagi mereka untuk kecewa atas apa yang kamu capai.” Kunyalakan rokok keduaku
dengan bara yang masih menyala dari batang sebelumnya. “Tapi, mereka akan sedih
jika aku melakukan ini itu yang tak berkenan.”
Bidadari menarik napas lagi, “Kesedihan orang-orang
yang mencintaimu atas apa yang kamu lakukan terlalu hina jika disandingkan
dengan kebebasan untuk menjalani hidup sesuai pilihanmu. Pikirkanlah! Jika
mereka benar mencintaimu, layakkah mereka menindasmu? Bahkan sejak di level
pikiran?” Kali ini aku yang menarik napas, “Aku tidak merasa rugi dengan apa
yang mereka inginkan dariku, secara diam-diam maupun telanjang.” Aku tahu apa
yang ia katakan ada benarnya. Namun entah kenapa saat itu kuputuskan untuk
tetap menentang. “Aku rela di…, apa tadi katamu?” aku menoleh padanya, mencuri
pandang pada mata dan gerak bibirnya. “Ditindas,” jawabnya mantap. “Ya,
ditindas. Sebab mereka telah sedemikian berjasa padaku dan mustahil mereka akan
menjerumuskanku.” “Itulah kesalahan terbesarmu. Kamu menilai semuanya sebagai
proses timbal balik yang harus setara, dengan subyek dan obyek yang sama dari
waktu ke waktu. Kamu dan mereka. Pernahkah kamu berpikir bahwa itu tidak adil?”
Ia menatapku lekat “Tidak adil?” tanyaku. “Ya, sangat tidak adil. Sebab kamu
masih punya masa depan. Sedangkan mereka…” kalimatnya kembali dibiarkan
menggantung. “Mereka kenapa? Tidak punya masa depan maksudmu?” tensiku mulai
naik. “Sepertinya begitu. Setidaknya mereka sudah pernah melewati masa-masa
seperti yang kamu lewati saat ini. Dan itu tidak mungkin terulang. Kalaupun
bisa kembali, mereka tak akan lagi punya kesempatan untuk memperbaiki
kesalahannya. Bagi mereka saat ini, bisa dibilang hidup hanyalah untuk menunda
kekalahan. Dan bagi kamu,…” kalimat itu tidak dilanjutkannya. Dan memang tidak
perlu dilanjutkan. Sebab dia sudah tahu kecamuk apa yang kini bekerja di
benakku. Kami terdiam.
Udara tengah malam makin keras mengirimkan gigil,
menusuk tulang. Tapi tidak dengan dadaku yang makin panas oleh anarki. “Karena
itukah kamu datang padaku, Hening?” Nadaku mulai melemah. “Ya. Sebab aku,
seperti nenekmu, sangat menginginkanmu menjadi elang, manusia yang bebas
terbang setinggi yang kamu mau, mencengkram dunia, bahkan mengubah dunia.”
“Bagaimana kamu tahu apa yang diinginkan nenek untukku?” Bidadari itu diam sejenak
dan menatapku sekilas. Dia tidak segera menjawab. “Hei, bagaimana kamu tahu?”
aku mengulanginya. “Aku pernah bicara cukup lama dengannya. Dia begitu
mencintaimu sekaligus sangat takut kamu akan terbelenggu oleh cintanya. Itulah
mengapa dia pergi meninggalkanmu saat kamu mulai pintar membaca dan berhitung.
Dia takut kamu akan tumbuh seperti ayahmu, laki-laki yang menurut nenekmu gagal
melampaui dirinya karena terlalu mencintai ibunya, ya nenekmu itu. Nenekmu
belajar dari masa lalu dan tak ingin mengulang kesalahan yang sama padamu,”
tuturnya.
“Ayahku? Ada apa dengan ayahku?” Aku
penasaran saat bidadari menyebut ayahku. “Nenekmu bercerita tentang ayahmu.”
“Apa…,apa yang diceritakan nenek tentang ayah?” Rasa ingin tahuku meletup,
melahirkan ritme napas yang menyerupai dengus. Tak teratur. “Ayahmu dulu
sebenarnya seorang pemuda yang hebat. Dia sekolah ke kota, terlibat dalam
berbagai kegiatan kemasyarakatan, semacam pergerakan pelajar. Dia punya pikiran
dan cita-cita besar, bahkan pikiran-pikirannya itu melampaui diri dan
jamannya.” “Terus?” Aku makin penasaran. “Namun segala potensi dan pencapaian
itu harus pupus, sebab ada semacam ketidakrelaan dari nenekmu. Nenekmu sadar
bahwa jika ayahmu ingin mewujudkan cita-cita dan pikiran besarnya, maka ayahmu
harus berhadapan dengan kekejaman hidup yang susah diramalkan ujungnya.” Aku
merasa ada sesuatu yang berat saat dia mengatakan itu. “Dalam pikiran nenekmu,
ada resiko besar ayahmu akan dimusuhi banyak pihak yang merasa terusik dengan
sepak terjangnya. Ayahmu akan dilemahkan dan kemudian pada titik
ketidakberdayaannya hanya akan menjadi lilin yang tubuhnya hancur demi
menerangi sekelilingnya.” “Lalu nenek diam-diam mencegah ayah untuk mewujudkan
mimpi besarnya itu. Begitukah Hening?” Tanyaku tak terbendung lagi. “Ya. Atau
lebih tepatnya atas nama cinta ibu pada anaknya, nenekmu merasa tidak tega dan
pelan-pelan mulai menyodorkan pilihan-pilihan lain yang menurutnya lebih aman,
lebih realistis.” “Meskipun sebenarnya ayah berpeluang menjadi elang andai
beliau terus membebaskan pikiran besarnya saat itu? Dan ayah menuruti
ketidakrelaan nenek itu?” “Ya. Begitulah.” Hening menatapku lembut, seolah
takut dengan penjelasannya itu. “Ayahmu tak kuasa melangkah lebih jauh demi
cinta dan baktinya pada nenekmu. Akhirnya, dia memilih menjadi orang biasa,
orang yang tidak berpikir muluk. Seperti yang kamu lihat saat ini.”
Lubang cacing di otakku kembali bekerja. Menyusup
ke masa lalu. Di sana kutemukan episode-episode kecil dimana ayah
seperti tak kuat menahan diri untuk tidak terlibat dalam aktivitas layaknya
seorang aktivis pergerakan yang idealis, atau setidaknya mengomentari dengan
keras hal-hal yang menurutnya tidak benar. Namun kutemukan pula keping-keping
peristiwa yang secara sumir menjelaskan betapa ayah selalu berusaha menghindari
pembicaraan tentang masa mudanya. Mungkin memang ada kegetiran di sana.
“Jadi, nenekku mengirimmu ke sini untuk menemuiku dan menceritakan ini?”
Kucairkan diam kami “Tidak secara langsung. Aku hanya menangkap pesan
pembicaraan lampau kami itu. Aku dikirim oleh Maha Kala, Sang Penguasa Waktu.” Ada yang
berdesir di seluruh getah tubuhku saat ia menyebut itu. Maha Kala, Penguasa
Waktu. “Hening, jujur saja, siapa sebenarnya kamu?” kembali dia terdiam.
“Apakah kamu merasa perlu tahu siapa aku?” “Sangat. Aku sangat perlu dan
ingin tahu.” Ia menarik napas, kali ini lebih dalam dari sebelumnya. “Aku
adalah dirimu sendiri,” suara dari mulut mungil itu bergaung memantul-mantul di
dinding. Kilat seperti bersahutan di teras rumahku malam itu. Menyambar mata dan
otak. Mengacaukan benak. “Tapi aku laki-laki, sedang kamu perempuan,” aku masih
mencoba menyangkalnya. “Setiap manusia punya dua sisi jiwa. Maskulinitas dan
femininitas. Kamu manusia normal dan struktur tubuhmu laki-laki, maka
maskulinitasmu lebih dominan. Namun bukan berarti kamu tidak punya sisi
feminine.” Aku terkesima lagi. Terjerembab dalam sumur kekagetan tanpa dasar.
Ngungun yang empuk dan hangat.
Kutatap mata bidadari di depanku itu. Kami
berpelukan lewat pandangan mata. Hangat. Dia tersenyum, berkedip, lalu
menawarkan peluk cium sejati yang segera kusambut dengan penuh. Tiga menit
lebih kami berpelukan. Sampai akhirnya aku tersadar bahwa aku memeluk ruang
kosong. Kosong yang tak lagi suwung. Bidadari itu, sisi lembutku, telah kembali
ke wilayahnya semula. Di pusat rasaku. Tinggal aku tafakur sendiri di beranda.
Tiba-tiba aku merasa jauh lebih segar, lebih tegar. Dan besok pagi aku akan
mulai terbang.