Sabtu, 30 Juni 2012


Dan Aku pun Terbang



Akhirnya aku benar-benar bertemu bidadari, perempuan segar yang sungguh cantik, menawan dan gemulai dengan pakaian putih, sopan. Ini adalah pertemuan pertamaku dengan mahluk cantik yang hanya pernah aku tahu dari dongeng masa kecil….

SAAT aku kecil, jika ibu sedang pergi atau sibuk di dapur, nenekku selalu menghadiahi dongeng. Nenek tak punya banyak koleksi dongeng sehingga ia sering mengulang-ulang isi dongengnya. Meski begitu, aku selalu terkesima dan kemudian tertawa menyimaknya, sebelum akhirnya lelap memeluk.
Hampir semua dongeng nenek bercerita tentang seorang putri rupawan dari khayangan. Seorang bidadari cantik, suka menolong dan menaburkan cinta di muka bumi bagi mereka yang membutuhkan. Aku dulu bocah kecil dengan gigi depan gigis karena terlalu banyak makan permen, masih belum tahu apa itu cinta, selain penjelasan singkat nenek bahwa cinta adalah zat gaib yang tertaburkan ke bumi hingga membuatku ada, lahir, tetap hidup di dunia. Sampai beranjak dewasa penjelasan itu masih kupegang selayak iman. Sebab hingga kini belum kutemukan penjelasan yang lebih memadai tentang makna cinta selain itu.

Kata nenek, bidadari terbuat dari lapisan cahaya yang bertumpuk berpilin-pilin. Ia biasa datang saat tengah malam purnama, menyinggahi telaga mati di negeri entah, untuk mandi kembang, lalu menabur berkah cinta pada mereka yang sedang berdoa. Itulah sebabnya kecilku dulu aku rajin berdoa tengah malam, saat ayah ibu sedang lelap atau bepergian. Aku berharap bidadari akan datang membawakan sekeranjang cinta lalu menaburkannya di atap rumahku, di atas kamar ayah ibuku, agar aku bisa segera punya adik. Namun hingga saat aku beranjak remaja, bidadari itu tidak jua datang, cinta tak tertaburkan dan aku tetap anak tunggal.

Tetapi kedatangan bidadari tengah malam purnama ini bukanlah bagian dongeng nenek, ia benar-benar ada. Aku melihat, bahkan merasakannya. “Anda siapa?” tanyaku heran saat tiba-tiba teras rumahku berliput cahaya. Dari pusat cahaya itu keluar sosok perempuan jelita seusiaku. “Aku bidadari dari khayangan,” perempuan itu tersenyum. “Dari khayangan? Tengah malam begini? Sendirian?” tanyaku takjub. Aku membayangkan betapa jauhnya jarak antara khayangan dengan bumi, mungkin jutaan kilometer, atau bahkan jutaan tahun cahaya. “Ya, sendirian,” jawabnya. Kukira ia hanyalah peri yang akan menakutiku. Reflek mataku menyelidik kakinya, apakah ia menyentuh tanah. Kata para tetua kampungku, seorang peri kakinya menggantung tak menyentuh tanah. Dan ternyata kaki perempuan cantik itu tidak menggantung namun juga tidak menyentuh tanah. Sebab entah mengapa ia memakai semacam sandal dari kaca. “Ah, anda pasti bergurau. Mana mungkin ada bidadari sungguhan. Bidadari hanya ada dalam dongeng nenek,” aku menyangkalnya, bergidik dan belum percaya. “Kamu benar. Di masa lalu bidadari seperti aku hanya ada dalam dongeng. Namun sejak para manusia berhasil memecahkan sebagian besar misteri alam, aku tak lagi hanya ada dalam dongeng.” Perempuan cahaya itu mendekat ke arahku. Seperti tahu apa yang kupikirkan. Ia lalu mengulurkan tangannya. “Sentuhlah, dan kamu akan tahu kalau aku benar-benar ada. Aku bukan hanya segumpal cahaya.”

Dengan mengumpulkan keberanian aku mendekatinya, kuraih sodoran tangan lembut itu. Ya, ia memang bukan terbuat dari cahaya. Lengannya kenyal dan kulitnya kesat seperti aku, manusia biasa. “Apakah anda telah dikutuk para dewa?” tanyaku bodoh. Sebab tiba-tiba aku ingat cerita tentang Nawang Wulan, bidadari ceroboh yang konon dikutuk jadi manusia karena kehilangan selendangnya yang dicuri Jaka Tarub. Ia hanya tersenyum, mendekati bangku beranda lalu duduk di sebelahku. “Sama sekali tidak. Aku bukan kutukan dewa.” “Lalu?” aku masih sulit menyembunyikan ketakjubanku. “Lalu…berhentilah terkesima. Berhentilah menyapaku dengan anda, toh aku sudah menyapamu dengan kamu, biar lebih akrab. Bagaimana?” Senyumnya terlontar lagi.

Detak jantungku kian cepat saat duduknya bergeser mendekat. “Namaku Hening. Hening Kirana. Kamu siapa?” ia mengulurkan lagi tangannya. Kali ini untuk berjabat. “Oh…, aku Bhia. Bhia Arkasuta. Anak tunggal,” kugenggam jemari itu. Kurasakan sesuatu yang tak biasa, seperti berjabat dengan teman lama. Segera kusingkirkan takut dan seganku, sebab aku merasa ia mulai menawarkan rasa percaya. Kami duduk berdekatan, hanya terhalang udara setebal 2 cm, jarak yang lebih dari cukup bagiku untuk menghirup aroma wangi tubuhnya.
Detik-detik seperti berjalan melambat, menggerus suasana yang sontak berubah akrab. Lubang cacing di otakku segera menerobos masa kecilku. Aku ingat apa yang pernah dikatakan nenek jika bidadari datang ke bumi. Cinta, itulah yang selalu dibawanya. “Hening, apakah kamu membawa cinta?” Tanyaku tiba-tiba. “Cinta? Darimana kamu tahu aku selalu membawa cinta?” kubaca setitik binar dan kekagetan dari nada itu. “Dari dongeng nenekku, juga dari gerak bibir dan matamu,” aku meringis, mulai berani menggoda. “Oh…nenekmu cerita apa?” alisnya mengerut. Kuceritakan padanya dongeng nenek tentang bidadari yang turun ke bumi untuk mandi bunga di telaga dan menebar cinta, zat gaib yang konon membuatku lahir dan ada. “Nenekmu pasti seorang yang bijaksana,” ia memuji. “Lebih tepatnya seorang yang sederhana,” kataku mengoreksi.

Angin tidak bersiut, demikian juga dengan waktu yang kurasakan tiba-tiba robek, menciut. Aku ingin rileks, maka kukeluarkan rokok, kutawarkan padanya. Ia menolak halus. Sementara nyala membakar ujung tembakau, ia kembali bicara. “Aku membawa banyak cinta malam ini.” Aku hampir bergembira, berharap ada sebagian untukku. Sudah lama aku ingin memperbaharui konsep cinta di benakku, semoga dia bisa memberi penjelasan. “Tapi bukan untukmu,” kalimatnya menggantung, menghempaskan harapku yang terlanjur tumbuh. “Oh ya, kenapa?” kugeser dudukku agak menjauh, serasa ada yang terbanting di jantungku. “Sebab kamu tidak memerlukannya lagi. Bahkan kamu berkelebihan cinta sehingga harus dikurangi.” Aku menggeleng. Ia beringsut mendekat. Makin tajam kuhirup wangi tubuh itu.

“Kamu berkelebihan cinta. Kakimu tergenangi larutan cinta yang kental, lekat dan dibuat sulit berjalan karenanya.” Aku tidak mengerti. “Kamu bukan tidak mengerti, kamu hanya tidak mau mengerti.” Ia tahu isi kepalaku. “Aku datang justru untuk memotong lilitan pekat di kakimu itu. Membebaskanmu dari belenggu.” Aku kembali menggeleng “Bidadari, aku makin tidak mengerti.” Ia tersenyum. “Bhia, ketahuilah, hidupmu terlalu berharga untuk kamu habiskan di sini, di tempat ini. Sebenarnya kamu bisa terbang kemanapun kamu mau. Menjadi elang, menjadi orang besar yang mencipta dan merubah sejarah. Bukankah itu yang selalu kamu pikirkan saat bercermin sendirian?” Aku terkesiap dengan kata-katanya. Elang, orang besar dan cermin. Tuhan, kenapa ia begitu tepat membaca kebiasaan-kebiasaan kecil dan isi kepalaku? Kutatap matanya, kucari kebenaran itu di sana. Ia membalas dengan celoteh yang terus menderas. “Tapi kamu terus bertahan, tetap tak mau terbang. Demi sesuatu yang kamu yakini sebagai cinta.” Rentetan kalimat itu memaksaku bereaksi mendebatnya. “Hei, hei…, tunggu dulu. Cintalah yang telah membuatku ada.” “Benar, kamu ada karena cinta orang tuamu dan orang-orang terdekatmu selama ini. Namun kamu terjebak dalam cinta itu. Kamu bermimpi sisa umurmu akan mampu kau gunakan untuk membalas segala yang telah mereka lakukan padamu. Kamu tahu bahwa itu tak mungkin, maka kamu memilih kompensasi minimal. Kamu memaksakan diri.”

Berondongan mitraliur itu makin lama makin lancar dan menohok. Aku bertahan sambil sesekali menikmati gerak bibirnya yang sedap dipandang. “Memaksakan diri?” tanyaku.  “Ya, kamu terus-menerus merasa gagal membalas cinta dan kebaikan mereka, dan memang akan terus begitu. Lalu kamu mengambil jalan pintas. Kamu jadikan kata-kata mereka sebagai kebenaran atau paling tidak menempatkan pertimbangan mereka sebagai hal utama yang mengisi otakmu meskipun untuk itu kamu harus rela terjebak dalam lingkaran balas budi yang tak seimbang,” bidadari itu menghela napas. “Kamu tidak berani mengambil keputusan radikal dalam banyak hal, sebab kamu khawatir itu akan membuat orang-orang yang selama ini mencintaimu terluka,” sambungnya. “Terus?” aku agak terpancing, tapi kukuatkan menunggu ujung ledakan itu. “Akhirnya kamu membonsai dirimu sendiri. Cintamu pada orang-orang terdekatmu mengkerdilkanmu.” Vonis sudah ia jatuhkan. Dan aku tak pernah suka dengan vonis. Aku mendengus gelisah. Terpojok. “Tapi mereka memang berhak ‘kan?” kataku. “Ya, tapi dengan begitu bukan berarti mereka berhak menjadi penentu jalanmu. Mereka mencintaimu, menjagamu, karena memang itu kewajiban sejarahnya. Ibumu melahirkanmu karena ia memang harus melahirkanmu. Ayahmu memberi nama dan membesarkanmu karena memang itu tugasnya. Tugas mereka adalah membekalimu, hanya membekalimu. Tapi bukan untuk mengantarmu ke tepi jalan, apalagi menentukan arah padamu. Itu adalah hakmu, hanya kamu!” Nada itu keras dan meninggi.

Sebelum aku berdiri dengan tersengal, sebuah senyum menawan terbit, ia melanjutkan. “Bhia, bukan hak mereka untuk menilai apakah kamu gagal atau berhasil dalam hidupmu sesuai isi kepala mereka. Tiap orang punya ukuran sendiri bagi hidupnya. Keberhasilan terbesarmu adalah ketika kamu mampu menjadi dirimu sendiri, apapun adanya itu. Menjadi hakim bagi benar salah yang kamu lakukan.” Cepat kupangkas ucapannya “Meski untuk itu aku harus mengecewakan mereka?” Iapun gegas menjawab, “Ya. Sebab sesungguhnya tak ada hak bagi mereka untuk kecewa atas apa yang kamu capai.” Kunyalakan rokok keduaku dengan bara yang masih menyala dari batang sebelumnya. “Tapi, mereka akan sedih jika aku melakukan ini itu yang tak berkenan.”

Bidadari menarik napas lagi, “Kesedihan orang-orang yang mencintaimu atas apa yang kamu lakukan terlalu hina jika disandingkan dengan kebebasan untuk menjalani hidup sesuai pilihanmu. Pikirkanlah! Jika mereka benar mencintaimu, layakkah mereka menindasmu? Bahkan sejak di level pikiran?” Kali ini aku yang menarik napas, “Aku tidak merasa rugi dengan apa yang mereka inginkan dariku, secara diam-diam maupun telanjang.” Aku tahu apa yang ia katakan ada benarnya. Namun entah kenapa saat itu kuputuskan untuk tetap menentang. “Aku rela di…, apa tadi katamu?” aku menoleh padanya, mencuri pandang pada mata dan gerak bibirnya. “Ditindas,” jawabnya mantap. “Ya, ditindas. Sebab mereka telah sedemikian berjasa padaku dan mustahil mereka akan menjerumuskanku.” “Itulah kesalahan terbesarmu. Kamu menilai semuanya sebagai proses timbal balik yang harus setara, dengan subyek dan obyek yang sama dari waktu ke waktu. Kamu dan mereka. Pernahkah kamu berpikir bahwa itu tidak adil?” Ia menatapku lekat “Tidak adil?” tanyaku. “Ya, sangat tidak adil. Sebab kamu masih punya masa depan. Sedangkan mereka…” kalimatnya kembali dibiarkan menggantung. “Mereka kenapa? Tidak punya masa depan maksudmu?” tensiku mulai naik. “Sepertinya begitu. Setidaknya mereka sudah pernah melewati masa-masa seperti yang kamu lewati saat ini. Dan itu tidak mungkin terulang. Kalaupun bisa kembali, mereka tak akan lagi punya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Bagi mereka saat ini, bisa dibilang hidup hanyalah untuk menunda kekalahan. Dan bagi kamu,…” kalimat itu tidak dilanjutkannya. Dan memang tidak perlu dilanjutkan. Sebab dia sudah tahu kecamuk apa yang kini bekerja di benakku. Kami terdiam.

Udara tengah malam makin keras mengirimkan gigil, menusuk tulang. Tapi tidak dengan dadaku yang makin panas oleh anarki. “Karena itukah kamu datang padaku, Hening?” Nadaku mulai melemah. “Ya. Sebab aku, seperti nenekmu, sangat menginginkanmu menjadi elang, manusia yang bebas terbang setinggi yang kamu mau, mencengkram dunia, bahkan mengubah dunia.” “Bagaimana kamu tahu apa yang diinginkan nenek untukku?” Bidadari itu diam sejenak dan menatapku sekilas. Dia tidak segera menjawab. “Hei, bagaimana kamu tahu?” aku mengulanginya. “Aku pernah bicara cukup lama dengannya. Dia begitu mencintaimu sekaligus sangat takut kamu akan terbelenggu oleh cintanya. Itulah mengapa dia pergi meninggalkanmu saat kamu mulai pintar membaca dan berhitung. Dia takut kamu akan tumbuh seperti ayahmu, laki-laki yang menurut nenekmu gagal melampaui dirinya karena terlalu mencintai ibunya, ya nenekmu itu. Nenekmu belajar dari masa lalu dan tak ingin mengulang kesalahan yang sama padamu,” tuturnya.

“Ayahku? Ada apa dengan ayahku?” Aku penasaran saat bidadari menyebut ayahku. “Nenekmu bercerita tentang ayahmu.” “Apa…,apa yang diceritakan nenek tentang ayah?” Rasa ingin tahuku meletup, melahirkan ritme napas yang menyerupai dengus. Tak teratur. “Ayahmu dulu sebenarnya seorang pemuda yang hebat. Dia sekolah ke kota, terlibat dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan, semacam pergerakan pelajar. Dia punya pikiran dan cita-cita besar, bahkan pikiran-pikirannya itu melampaui diri dan jamannya.” “Terus?” Aku makin penasaran. “Namun segala potensi dan pencapaian itu harus pupus, sebab ada semacam ketidakrelaan dari nenekmu. Nenekmu sadar bahwa jika ayahmu ingin mewujudkan cita-cita dan pikiran besarnya, maka ayahmu harus berhadapan dengan kekejaman hidup yang susah diramalkan ujungnya.” Aku merasa ada sesuatu yang berat saat dia mengatakan itu. “Dalam pikiran nenekmu, ada resiko besar ayahmu akan dimusuhi banyak pihak yang merasa terusik dengan sepak terjangnya. Ayahmu akan dilemahkan dan kemudian pada titik ketidakberdayaannya hanya akan menjadi lilin yang tubuhnya hancur demi menerangi sekelilingnya.” “Lalu nenek diam-diam mencegah ayah untuk mewujudkan mimpi besarnya itu. Begitukah Hening?” Tanyaku tak terbendung lagi. “Ya. Atau lebih tepatnya atas nama cinta ibu pada anaknya, nenekmu merasa tidak tega dan pelan-pelan mulai menyodorkan pilihan-pilihan lain yang menurutnya lebih aman, lebih realistis.” “Meskipun sebenarnya ayah berpeluang menjadi elang andai beliau terus membebaskan pikiran besarnya saat itu? Dan ayah menuruti ketidakrelaan nenek itu?” “Ya. Begitulah.” Hening menatapku lembut, seolah takut dengan penjelasannya itu. “Ayahmu tak kuasa melangkah lebih jauh demi cinta dan baktinya pada nenekmu. Akhirnya, dia memilih menjadi orang biasa, orang yang tidak berpikir muluk. Seperti yang kamu lihat saat ini.”

Lubang cacing di otakku kembali bekerja. Menyusup ke masa lalu. Di sana kutemukan episode-episode kecil dimana ayah seperti tak kuat menahan diri untuk tidak terlibat dalam aktivitas layaknya seorang aktivis pergerakan yang idealis, atau setidaknya mengomentari dengan keras hal-hal yang menurutnya tidak benar. Namun kutemukan pula keping-keping peristiwa yang secara sumir menjelaskan betapa ayah selalu berusaha menghindari pembicaraan tentang masa mudanya. Mungkin memang ada kegetiran di sana. “Jadi, nenekku mengirimmu ke sini untuk menemuiku dan menceritakan ini?” Kucairkan diam kami “Tidak secara langsung. Aku hanya menangkap pesan pembicaraan lampau kami itu. Aku dikirim oleh Maha Kala, Sang Penguasa Waktu.” Ada yang berdesir di seluruh getah tubuhku saat ia menyebut itu. Maha Kala, Penguasa Waktu. “Hening, jujur saja, siapa sebenarnya kamu?” kembali dia terdiam. “Apakah kamu merasa perlu tahu siapa aku?”  “Sangat. Aku sangat perlu dan ingin tahu.” Ia menarik napas, kali ini lebih dalam dari sebelumnya. “Aku adalah dirimu sendiri,” suara dari mulut mungil itu bergaung memantul-mantul di dinding. Kilat seperti bersahutan di teras rumahku malam itu. Menyambar mata dan otak. Mengacaukan benak. “Tapi aku laki-laki, sedang kamu perempuan,” aku masih mencoba menyangkalnya. “Setiap manusia punya dua sisi jiwa. Maskulinitas dan femininitas. Kamu manusia normal dan struktur tubuhmu laki-laki, maka maskulinitasmu lebih dominan. Namun bukan berarti kamu tidak punya sisi feminine.” Aku terkesima lagi. Terjerembab dalam sumur kekagetan tanpa dasar. Ngungun yang empuk dan hangat.

Kutatap mata bidadari di depanku itu. Kami berpelukan lewat pandangan mata. Hangat. Dia tersenyum, berkedip, lalu menawarkan peluk cium sejati yang segera kusambut dengan penuh. Tiga menit lebih kami berpelukan. Sampai akhirnya aku tersadar bahwa aku memeluk ruang kosong. Kosong yang tak lagi suwung. Bidadari itu, sisi lembutku, telah kembali ke wilayahnya semula. Di pusat rasaku. Tinggal aku tafakur sendiri di beranda. Tiba-tiba aku merasa jauh lebih segar, lebih tegar. Dan besok pagi aku akan mulai terbang.