Sabtu, 30 Juni 2012


Moralitas (Tentang Selera)


ORANG kerap menyamakan sikap moral yang tercela dengan egoisme, bukan? Egoisme dipahami sebagai sikap menomersatukan kepentingan sendiri. Lawannya ya altruisme, sikap mendahulukan kepentingan orang lain. Dan tak jarang moralitas disamakan dengan altruisme, sedang egoisme dianggap sumber segala dosa. Bagi saya berat sebelah. Sebab jika dipahami dengan tepat, egoisme merupakan debut positif yang menunjang pematangan pribadi.

Pemabuk plus penjudi, bila ia sedang marah pada istri, tak dapat menguasai nafsu seks dan akhirnya kena AIDS, juga jika iri, emosi, sentimen, gelap mata, apakah itu egoisme?
Bukankah sikapnya justru bertentangan dengan kepentingan si pelaku sendiri? Bukannya ia sendiri merugi? Sikap cacat tersebut bukan karena orang itu terlalu memikirkan kepentingannya, tapi karena ia tak berpikir, membiarkan diri terperangkap nafsu, dikuasai oleh dorongan irasional; mirip animal insting. Hakikat dosa bukan bahwa orang mempertimbangkan kepentingannya sendiri, melainkan bahwa ia melepaskan kekuasaan atas dirinya sendiri, bahwa ia tak menggunakan refleksi, bahwa ia mau jadi budak perasaannya. Kemudian ia tak hanya sering merugikan orang lain, tapi juga dirinya.

Dari sini, mari juga temukan kekeliruan hedonisme. Hedonisme mengatakan bahwa manusia selalu mengejar nikmat, menghindari pesakitan. Dorongan batin punya objeknya sendiri, yang (juga kerap) tak berkaitan dengan kepentingan diri. 

Moralitas bukan masalah perasaan. Menyamakan moralitas dengan perasaan akhirnya jadi soal selera. Moralitas adalah tempat kita bertanggung jawab, tempat kita dengan sadar mengarahkan arah hidup, di luar dikotomi benar-salah. Bukankah orang hanya bermoral karena suatu otoritas di luarnya yang maha raya, secara metafisik (Tuhan) atau tuntutan negara? Apakah moralitas hanya sekedar masalah struktur motivatif manusia? Apakah nilai-nilai moral bernilai karena kita menyetujuinya, atau kita setuju karena nilai-nilai itu memang bernilai?