Sabtu, 30 Juni 2012

Secara: Artimu Lari Kemana?*


ADIK saya kelas 3 SMP kena sindrom anyar. Setiap kalimat yang ia ucapkan selalu diawali dengan kata “secara”. Pernah ia berkata pada saya, “Secara, aku kan temannya dia, Kak.” Pernah lagi, “Secara, aku disuruh cuci piring sendiri?” Dan “Secara, mama nggak ada di rumah nih.” Bingung juga saya dengan maksud adik saya itu.

Kata secara pertama, saya artikan: karena. Kedua: apa? Atau: yang benar? Dan yang ketiga: mumpung atau sekarang. Bingung saya jelas beralasan. Satu kata (secara) melahirkan beragam arti. Bunglonisasi Secara. Padahal, dari pelajaran Bahasa Indonesia yang saya dapat di sekolah, juga dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara berarti menurut atau dengan cara.
Saya yakin, banyak yang telah menularinya. Sebaliknya, ia pun akan menulari yang lain. Mulai dari teman sekolah, teman bimbingan belajar dan tetangga sebaya.

Bahasa radio sebagai penyampai informasi masal pun ikut terkontaminasi dengan gejala tersebut. Bahkan sebuah iklan yang tayang di televisi juga bangkit menjadi penular khalayak. Entah siapa penyebar awal virus tersebut. Minggu lalu, saya dengan niat penuh mendengarkan semua stasiun radio di Denpasar. Gelombang radio saya putar bergiliran. Saya tercengang. Nyaris seluruh penyiar radio menggunakan kata tersebut. Dan benar, dengan arti yang berbeda, sesuai konteks kalimat. Lalu saya putar lagi tuner, mencari RRI (Radio Republik Indonesia).

Saya bernapas lega. RRI tetap tegar dan berjaya dengan penyiaran baku berbahasa Indonesia yang baik, sopan dan edukatif. Dan ketika saya pulang kampung ke Banyuwangi, saya pun mendapati hal yang sama. Timbul niat saya untuk menghubungi salah seorang teman penyiar di sebuah radio swasta. Kebetulan saat itu ia sedang on air. Saat acara yang ia bawakan menyiarkan parade iklan, saya telepon dia. “Maaf, cuma mau tanya. Secara itu artinya apa sih? Kok bisa berubah-ubah? Tadi saya dengar kamu kerap menyebut kata itu.” Kaget saya mendengar jawaban santainya, “Saya sendiri juga nggak ngerti. Maklum, lidah penyiar itu latah. Kalau lagi trend ngomong gitu, ya ikut aja, meski nggak tau artinya. Tuntutan profesi non. Yang penting yang dengar suka.” Dari situ saya memahami tradisi latah anak muda sekarang. Sama halnya dengan penggunanan kata “So what gitu lho…” Bagi saya itu kelatahan yang menyengaja.

Mungkin terlalu berlebihan jika saya berpikir bahwa ternyata peradaban standard kita mulai terjajah oleh anak bangsa sendiri yang seharusnya melakukan hal sebaliknya, yakni mempertahankan, juga mengembangkan standard peradaban yang lebih baik lagi.

Dan semua dimulai dari bahasa, sebuah hal yang paling esensial dalam mencitrakan jati diri bangsa. Bukannya jauh lebih baik kaum muda mengaduk, merangkai kata-kata baku nan santun menjadi karya yang lebih bermanfaat untuk kepentingan bersama ke depan? Bukan menciptakan makna baru yang majemuk atas sebuah kata baku. Saya tidak mau sinis menanggapi masalah ini, tapi juga tidak mau tinggal diam. Sungguh hal ini membuat saya gelisah. Tidakkah Anda juga?  


* Tepatnya saya lupa, tulisan ini saya tulis di 2007