Sepersekian Episode di Ulang Tahunmu
Selamat datang jiwa jernih yang akan mengisi rahimku.Untuk benihmu dan kamu kuhaturkan cerita ini.
Tulisan ini adalah perjalanan bagi sebuah kelahiran.
Ini semua tentang kita. Soal kita. Ihwal kita. Saga Kita.
Dan padanya ada takdir yang menaungi kita.
Jadi fungsiku hanya menyuguhkan yang sudah ada, mengecap
yang sedang ada, dan merancang yang seharusnya ada. Sementara kamu
mendengarkan. Dengan segala abstraksi yang berenang-renang riuh di kepalamu.
Yakinku begitu.
Begitu banyak indahnya kesakitan di sepanjang usiaku sampai
kini, dan aku tak ingat keadaan berubah begitu cepat. Aku tak punya ruang untuk
bisa mengingkari bahwa kerlap kerlip riwayat itu seperti musik gahar, seperti
sesuatu yang perkasa, tapi nyatanya suwung, sunyi.
Aku terlalu lama membeku. Mengkristal dari leleh air mata
yang sebenarnya adalah aku sendiri. Sendiri, merekam dan mencatat dalam hati.
Di awal, mimpiku, kuhabiskan hidup bersama pasangan
ideologis, psikologis, biologis. Di jalan, mereka cuma bisa menawarkan opsi
terakhir. Maka dua sebelumnya terus kucari. Pernah sebelumnya kudapat laki-laki
yang seide dan menawarkan kenyamanan psikis untukku, sayangnya di biologis ia
payah. Jadi, aku terus mencari.
Kemudian kamu datang. Dari cahaya bening yang maha tak terduga,
menyilaukan pupus daun bernama harapan. Kamu memberi sapa yang hangat. Paling
hangat dari yang pernah hangat. Kamu jadi idolaku tanpa alasan jelas. Kamu tak
tampan, tapi hangat. Kamu tak banyak bicara, tapi menyentuh. Aku seperti telah
mengenalmu dari ribuan tahun cahaya yang lalu. Mungkin karena kita adalah
rupa-rupa yang imortal. Lalu aku menyebutmu: Jernih. Jernih, aku ingin dengan
rela lumpuh dalam tenang itu, yang kamu ciptakan tanpa patron. Lalu kita saling
menakali. Menakali tubuh, menakali sukma, menakali hidup. Hanya saja, kita tak
pernah bersua di subuh. Belum pernah tepatnya.
Kamu tak menjanjikanku kebahagiaan. Kamu tak menggaransi
hujan tumpah di tanah kemarau. Kamu tak berani berjanji dapat menjadi penuntun
jalan yang baik. Kamu pun tak istimewa, tak lebih dari siapa pun, namun juga
tak kurang dari siapa pun. Kamu adalah kecukupan itu. Cukup yang tak menghamba
lebih. Juga cukup yang tak rela berkurang. Lama aku berjuang sendiri, tanpa
donor energi dari siapapun. Dan pertemuan kita rupanya tak sekedar kebetulan.
Orang yang tepat, waktu yang tepat. Aku percaya naluriku. Kini, lenganmu adalah
tempat terbaik menggugurkan semua warna warni gundah.
Dunia rasa adalah dunia tak stabil. Siapa bilang yang
bimbang menghamba pada yang yakin? Mereka kejar mengejar. Dalam damba yang
bimbang, aku bisa jadi kaya batin. Dalam yakin dan percaya diri, kamu bisa saja
tersandung. Hanya dengan berbagi, kita bisa lebih murni.
Keurakanku memorakporandakan logika yang lazim di masyarakat
justru sebuah proyek untuk menegakkan logika. Cara adalah urusan semesta.
Semesta selalu tahu cara tersingkat, tersegera, dan terharmonis di antara kita dan
mimpi. Aku punya mimpi: rahimku dipenuhi benihmu. Dan kamu bersedia. Begitu gerimis, begitu kamu, begitu lesap.
Kita akan memperkosa logika siapa saja yang membaca ini.
Aku mencintaimu tanpa syarat seperti halnya kamu yang selalu
mendekapku penuh tanpa jenuh.
Esok adalah corak yang rapi sembunyi. Dan aku hanya manusia,
yang terpetik dari gulana sang kala. Lalu apakah cinta menjadi sesuatu yang
salah hanya karena relasi ini tidak tercakup pada konsep yang dinamai
perkawinan? Untuk itu, aku hanya menyerah pada waktu, bukan lainnya.
Maaf, bila tak seluruhnya tersebut. Aku tidak bisa
menunjukkan padamu bahwa aku mengetahui lebih banyak dari apa yang aku katakan.
Lalu gemuruh datang. Ia berbisik, tapi jelas bunyinya. Ia
bilang: Kunikahkan kamu dengan angin. Air walimu, tanah saksimu, api saksimu.
Hatiku membungkuk. Lalu mencium hatimu.
Selamat ulang tahun….
Sading, 5 Juli 2013
00:01
Usai kususun 6 cherry merah di atas Black Forestmu.