May Day
SEORANG teman pernah bilang: ciri modernitas suatu society dapat diukur
pada, antara lain, seberapa besar peran “pihak ketiga” (3rd party) dalam kehidupan society itu. Dihormatinya profesi
pengacara, negosiator, auditor, inspektor/surveyor, analis, wealth planner, atau jasa-jasa penunjang
lainnya menunjukkan ciri itu. Sederhananya, dihormatinya profesi konsultan.
Lihat saja, di negara maju, profesi-profesi itu demikian dihormati, dan
hanya mereka yang benar-benar telah makan asam garam dunianya yang mampu duduk
di sana, kaum profesional dalam arti sebenarnya. Pelajar-pelajar paling pintar
masuk ke jurusan hukum, kedokteran, dan baru kemudian teknik (di negeri kita,
jurusan hukum seringkali merupakan jurusan “buangan”, dan teknik tampak tetap
favorit).
Berbekal profesi-profesi itu, sebenarnya, seseorang dinamai profesional
sejati. Konsultan, kata teman tadi, kepanjangan dari kongkonane wong kesulitan (suruhan orang yang kesulitan), yang dengannya
ia dibayar mahal. Mungkin dalam bentuk jam, atau harian. Man-days rate, ongkos harian. Itu pola pembayarannya. Seseorang
dibayar berdasarkan berapa hari ia membaktikan waktunya untuk orang yang
menyuruh.
Di Indonesia, profesi konsultan tidak terlalu dihormati, jika bukan
dilecehkan malah. Sebab tidak terlalu jelas apa kerjanya. Di sini, masyarakat
terlanjur menganggap orang-orang kantoran adalah kaum profesional, padahal
mereka juga buruh. Ya, kenapa konotasi buruh selalu dikaitkan dengan pekerja
pabrik? Kenapa pekerja-pekerja lain yang juga gajian tiap bulan tidak disebut
buruh? Kenapa peringatan May Day tidak pernah melibatkan kaum pekerja kantoran
untuk turut serta turun jalan?
Di korea era 90-an, demonstrasi
buruh diikuti bukan hanya para pekerja galangan kapal atau industri berat
lainnya, aksi juga diikuti kaum berdasi. Dulu ada kelompok yang menamakan
dirinya kaum profesional madani, mereka-mereka yang mengaku reformis dan
bekerja di kantor. Namun saat May Day, tak terdengar bagaimana sikap
mereka. Kenapa? Karena buruh di sini didefinisikan sebagai pekerja pabrik!
Padahal, kepentingan yang diusung
dalam berbagai aksi May Day tersebut juga menyangkut kepentingan pekerja
kantoran itu. Lihat isu utamanya: outsourcing. Sesuatu yang masih lumrah
dilakukan perusahaan dalam merekrut pekerjanya. Outsourcing sendiri, menurutku,
adalah taktik jitu (namun licik) dengan tujuan mirip asuransi: pengalihan risiko.
Perusahaan pemakai membayar uang lebih (overhead
cost) kepada perusahaan penyedia dengan kompensasi risiko mereka terkurangi
secara signifikan. Sebab setiap saat si pemakai bisa meminta personil tersebut
diganti, tanpa kompensasi apapun.
Dan revolusi adalah sekolah
terbaik bagi kaum proletar.