Rabu, 01 Mei 2013


May Day


SEORANG teman pernah bilang: ciri modernitas suatu society dapat diukur pada, antara lain, seberapa besar peran “pihak ketiga” (3rd party)  dalam kehidupan society itu. Dihormatinya profesi pengacara, negosiator,  auditor, inspektor/surveyor, analis, wealth planner, atau jasa-jasa penunjang lainnya menunjukkan ciri itu. Sederhananya, dihormatinya profesi konsultan.

Lihat saja, di negara maju, profesi-profesi itu demikian dihormati, dan hanya mereka yang benar-benar telah makan asam garam dunianya yang mampu duduk di sana, kaum profesional dalam arti sebenarnya. Pelajar-pelajar paling pintar masuk ke jurusan hukum, kedokteran, dan baru kemudian teknik (di negeri kita, jurusan hukum seringkali merupakan jurusan “buangan”, dan teknik tampak tetap favorit).

Berbekal profesi-profesi itu, sebenarnya, seseorang dinamai profesional sejati. Konsultan, kata teman tadi, kepanjangan dari kongkonane wong kesulitan (suruhan orang yang kesulitan), yang dengannya ia dibayar mahal. Mungkin dalam bentuk jam, atau harian. Man-days rate, ongkos harian. Itu pola pembayarannya. Seseorang dibayar berdasarkan berapa hari ia membaktikan waktunya untuk orang yang menyuruh.

Di Indonesia, profesi konsultan tidak terlalu dihormati, jika bukan dilecehkan malah. Sebab tidak terlalu jelas apa kerjanya. Di sini, masyarakat terlanjur menganggap orang-orang kantoran adalah kaum profesional, padahal mereka juga buruh. Ya, kenapa konotasi buruh selalu dikaitkan dengan pekerja pabrik? Kenapa pekerja-pekerja lain yang juga gajian tiap bulan tidak disebut buruh? Kenapa peringatan May Day tidak pernah melibatkan kaum pekerja kantoran untuk turut serta turun jalan?

Di korea era 90-an, demonstrasi buruh diikuti bukan hanya para pekerja galangan kapal atau industri berat lainnya, aksi juga diikuti kaum berdasi. Dulu ada kelompok yang menamakan dirinya kaum profesional madani, mereka-mereka yang mengaku reformis dan bekerja di kantor.  Namun saat May Day, tak terdengar bagaimana sikap mereka. Kenapa? Karena buruh di sini didefinisikan sebagai pekerja pabrik!

Padahal, kepentingan yang diusung dalam berbagai aksi May Day tersebut juga menyangkut kepentingan pekerja kantoran itu. Lihat isu utamanya: outsourcing. Sesuatu yang masih lumrah dilakukan perusahaan dalam merekrut pekerjanya. Outsourcing sendiri, menurutku, adalah taktik jitu (namun licik) dengan tujuan mirip asuransi: pengalihan risiko. Perusahaan pemakai membayar uang lebih (overhead cost) kepada perusahaan penyedia dengan kompensasi risiko mereka terkurangi secara signifikan. Sebab setiap saat si pemakai bisa meminta personil tersebut diganti, tanpa kompensasi apapun.

Dan revolusi adalah sekolah terbaik bagi kaum proletar.