P u l a n g
Kepala bisa memilih apa yang diingat dan yang tidak.
Dan aku memilih mengingatnya.
Mengingatmu.
Mengingat malam itu.
ADA sesuatu pada matamu yang teduh
namun tajam dan cepat tahu, yang bertutur langsung pada hal-hal yang sering
kurasakan, hal-hal yang tak selalu hendak kuakui. Ganjil yang manis, eksepsi
yang nyaman. Kita terhubung, terbangun dari suara yang diredam. Diam itu bukan
kebisuan yang luruh, tapi keheningan yang hadir setelahnya.
Keindahan bagiku adalah pandang
matamu yang sejenak, sikap dudukmu yang tenteram, saat kita berada dalam
bekapan langit malam yang menjemput muda jingga. Adamu merubah suhu ruang.
Indah juga pernah datang sebelumnya, waktu itu ada busur penuh warna melengkung
di angkasa. Ada pelangi saat aku mengingatmu.
Malam itu kamu berkisah. Tentang usia
13ku, tentang riwayat, tentang apa yang kusebut rumah, tentang pencarian. Dari
tuturmu aku tahu; tidak ada yang datang pada pencarian. Tapi kamu tak memberiku
kata akhir. Maka pada apa aku harus menempatkan harap?
Pribadi bukanlah sesuatu yang
sepenuhnya dapat dikonseptualisasikan. Yang terpenting ialah menerima proses
pencarian yang tak mudah selesai. Begitu kuartikan diammu. Juga satu hal yang sampai
kini melekat: pikirkan ketiadaan, jika aku ingin tahu rumahku, jika aku ingin
pulang. Think about nothing. Malam
itu, aku merasai Puntadewa pada hela nafasmu.
Jangan menyesal, jangan menyerah.
Amboi… Kamu merampungkan kemarin,
hari ini dan esok bagi aku yang telah sering harus bersandar pada kepercayaan
yang patah. Yang kupunya adalah beberapa jejak kekerasan, rasa terkecoh oleh
impian, rasa cemas. Ada padamu yang
membuatku berani menyandarkan percayaku.
Terima kasih, karena telah memberitahuku jalan pulang.
Lalu kamu berakhir di cahaya, di
ujung malam Siwa Ratri….
11 Januari 2013
Menjelang bulan mati