Selasa, 15 Januari 2013


Elegi Bali 1  


HARMONI dan maturitas tak pernah melenggang pada trotoar yang sama. Mangku Pastika dan Puspayoga, mulanya sepakat memimpin Bali, jelas dengan segala kekompakan mereka. Namanya juga paket! Memasuki tahun keempat bahtera pemerintahannya, dikabarkan hubungan mereka tidak lagi intim.

Jelas pula masyarakat Bali bukan bodoh-bodohnya manusia, isu ini sudah terendus sejak jauh-jauh hari. Sayang, belum ada survey atau polling yang menunjukkan bukti tingkat kepuasan masyarakat atas maturitas kinerja mereka.   

Dalam benak, yang terlintas adalah yang satu lebih dominan, sementara yang satu lagi merepresi hasrat untuk jadi dominan. Tumbukan pun tak tercegah. Memang belum tentu ketakmesraan mereka itu karena perang psikologis, juga tidak perlu dibayangkan bahwa salah satunya harus diberangus agar tidak makin agresif. Tapi faktanya? Banyak dari kita tahu apa yang terjadi. Dan media adalah bukti sekaligus arena bagi yudha mereka.

Warga Bali yang kasihan. Bagaimana pemerintahan berjalan konstruktif saat di dalamnya berkonflik? Atau saling menggelitik? Makin geli makin membungkam. Kebijakan moratorium hotel, pelanggaran Amdal JDP, ijin prinsip investor Tahura Ngurah Rai, adalah beberapa dari banyak ihwal yang masih butuh penyelesaian cerdas, dan waras. Maka ini masukan buat calon gubernur Bali 2013 mendatang: jangan berani-berani mencalonkan diri jadi gubernur Bali tercinta kalau tidak punya konsep konkret yang akan meyelamatkan kewarasan masyarakat, kelangsungan hidup lingkungan dan kekacauan multifaktorial lainnya! Jelas?

Kerap profesional-profesional muda mengeluhkan kejenuhan mereka menyaksikan politisi berkoar atas nama demokrasi. Mungkin dalam kepala mereka ini hanya role play, sebab seperti terprediksi pihak penguasa angkat suara membela keberhasilan kinerja --ini masuk akal-- dan pihak oposisi mengais-ngais kesalahan –ini juga masuk akal— yang dengan halus mengatakan bahwa ini adalah keberhasilan pemerintah memverbalisasi wacana, atau telah terjadi sebuah proses komunikasi efektif membumi dan tercerna oleh logika masyarakat tanpa landasan kinerja. Ditambah para oposan yang lagaknya sok elegan menyusun skenario cantik pendobrak fakta “ada apa di balik…”.

Kepemimpinan adalah karakter. Setuju? Seberapa sering kita melihat mereka menerapkan prinsip-prinsip leadership? Seberapa sering juga kita temui mereka, para pejabat (struktural) yang tak punya leadership, yang kerjanya mempersulit yang mudah dengan mudah? Dan karena itu keberadaanya jauh dari fungsional. Leadership is an action, not a position.

Jadi…. Bagaimana karakter Anda, para calon? Jangan biarkan kami enggan memilih.